JAKARTA, KOMPAS.com – Indonesia telah memutakhirkan dokumen Nationally Determined Contribution (NDC).
Meski demikian, target Indonesia untuk mencapai netral karbon pada 2060 dinilai “Sangat Tidak Memadai” menurut rilis yang diterima Kompas.com dari IESR, Kamis (28/10/2021).
Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan dan aksi iklim Indonesia masih mengarah pada peningkatan emisi.
Agar selaras dengan Persetujuan Paris, Indonesia target dan kebijakan yang lebih ambisius perlu diterapkan terutama pada sektor yang berkontribusi pada peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK), dan mendorong aliran pendanaan internasional terkait iklim.
Sepanjang 2019, sektor energi masih menjadi penyumbang emisi GRK terbesar. Sub sektor pembangkitan listrik bertanggung jawab terhadap 35 persen emisi GRK, diikuti oleh transportasi dan industri masing-masing 27 persen.
IESR meluncurkan laporan komprehensif dan perbandingan aksi iklim negara G20 terbarunya berjudul Climate Transparency Report 2021.
Dalam laporan tersebut, IESR menyatakan bahwa Indonesia sebenarnya sudah mengusulkan peningkatan energi terbarukan di bidang ketenagalistrikan, transportasi, dan industri.
Namun, Indonesia belum memiliki strategi penyetopan konsumsi batu bara secara bertahap serta kebijakan yang mendorong persaingan energi terbarukan dengan batu bara.
Climate Transparency Report 2021 bahkan memproyeksikan emisi GRK Indonesia pasca-pandemi akan melonjak melebihi tingkat emisinya dibandingkan 2019 seiring dengan bangkitnya aktivitas ekonomi.
“Berdasarkan kajian IESR, paling tidak, agar selaras dengan Persetujuan Paris, penurunan emisi karbon kita di sektor energi seharusnya di atas 500 juta ton," ujar Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa.
Fabby memaparkan, ada tiga strategi yang pemerintah Indonesia bisa lakukan untuk menekan emisi GRK dari sektor emisi.
"Pertama, peningkatan bauran energi terbarukan. Kenaikan bauran energi terbarukan harus mencapai 50% di 2030. Kedua, mendorong efisiensi energi, khususnya dari sektor transportasi. Konsumsi energi kita per kapita untuk listrik relatif rendah, sementara permintaan bahan bakar transportasi sangat tinggi dan penyumbang emisi tertinggi," ungkap Fabby.
Ketiga, Fabby menuturkan bahwa dengan mempensiunkan dini paling sedikit 10 gigawatt pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), atau tidak memperpanjang kontraknya, akan efektif menurunkan emisi.
Hingga 2020, sektor ketenagalistrikan Indonesia tetap didominasi oleh bahan bakar fosil yakni 82 persen, dengan batu bara menyumbang pangsa tertinggi yakni 62 persen pada 2020.
Akibatnya intensitas emisi dari sektor ketenagalistrikan sejak 2015 hingga 2020 tidak mengalami perubahan signifikan, hanya menurun sebesar 1 persen. Sementara, rata-rata negara anggota G20 telah menurun 10 kali lebih cepat.
Pemerintah Indonesia pun belum sepenuhnya menerapkan komitmennya untuk menekan emisi dari batu bara.
Demi memenuhi tujuan netral karbon pada 2060, pemerintah telah mengumumkan bahwa tidak akan membangun PLTU batu bara baru setelah 2023.
Namun, di saat bersamaan, sekitar 2 gigawatt kapasitas terpasang PLTU batu bara sudah mulai beroperasi.
Tidak hanya itu, dalam NDC, Indonesia berjanji untuk mengurangi batu bara hingga 30 persen pada tahun 2025 dan 25 persen pada 2050.
Sementara menurut analisis Climate Transparency Report 2021, PLTU batu bara harus dihentikan sepenuhnya pada 2037 untuk mencegah kenaikan suhu bumi sebesar 1,5 derajat Celsius.
Untuk mengurangi emisi GRK diperlukan pendanaan yang tidak sedikit. Oleh karena itu, pendanaan publik harus sudah mulai mengarah kepada aksi yang mampu mengatasi perubahan iklim yang lebih serius.
"Selain itu, subsidi di sektor energi fosil harus sudah mulai dihentikan dan mempercepat transisi energi melalui pendanaan energi terbarukan," kata Manager Program Ekonomi Hijau IESR Lisa Wijayani.
Menurutnya, investasi pada energi hijau dan infrastrukturnya perlu lebih besar daripada investasi bahan bakar fosil pada 2025.
Selama ini, Indonesia telah menghabiskan 8,6 miliar dollar AS untuk subsidi bahan bakar fosil pada 2019. 21,96 persen di antaranya untuk minyak bumi dan 38,48 persen untuk listrik.
Lebih jauh, Lisa menambahkan bahwa penerapan pajak karbon bisa menjadi awal yang baik dalam mendorong upaya pengurangan emisi GRK.
"Namun, perlu adanya mekanisme yang lebih layak agar penerapan pajak karbon mampu mengurangi emisi secara signifikan dan memajukan ekonomi yang berketahan iklim melalui upaya yang lebih besar lagi, misalnya melalui carbon trading (perdagangan karbon),” tutur Lisa.
https://www.kompas.com/global/read/2021/10/29/083448370/aksi-iklim-indonesia-dinilai-sangat-tidak-memadai-perlu-kebijakan-yang