SYDNEY, KOMPAS.com - Kawasan pemukiman di garis pantai New South Wales dikenal sebagai pusat anti-vaksin di Australia.
Salah satunya adalah Vashti Eastern, seorang pemijat terapis tiba di kawasan pantai utara di negara bagian New South Wales 30 tahun lalu, debat soal vaksin sudah ada ketika itu.
Bahkan pada 1990-an, menurut Vashti hampir semua orang yang dikenalnya mempertanyakan keamanan semua jenis vaksin Covid-19.
Oleh karenanya, Vashti memutuskan untuk tidak memberikan vaksin untuk anak laki-lakinya. Dia percaya "tak ada penyakit di sekelilingnya".
Vasthi baru menyadari betapa seriusnya masalah kesehatan, ketika teringat anaknya yang saat itu berusia 5 tahun sakit batuk.
"Saya baru sadar penyakit itu di sekeliling kita, dan anak saya mungkin sudah meninggal kalau dia masih bayi," kata Vashti yang sekarang berusia 57 tahun, seperti yang dilansir dari ABC Indonesia pada Selasa (3/8/2021).
Walau dia mengatakan bukanlah orang yang betul-betul anti-vaksin, Vashti mengatakan "saya jelas orang yang sudah lama tidak pernah mempertimbangkan vaksin."
Di saat pemerintah Australia mempercepat usaha vaksinasi, muncul juga pengunjuk rasa dengan membawa poster bertuliskan, "Saya percaya dengan Jesus dan bukan dengan vaksin" dan "Jangan percaya dengan pandemi hoaks Covid-19."
Bila Australia ingin mencapai tingkat vaksinasi hingga 80 persen untuk mencapai tingkat kekebalan massal, maka keraguan akan vaksin harus ditangani.
Kemudian, yang membuat Vashti berubah adalah rasa rindunya dengan sanak keluarga di luar negeri, dan pekerjaannya yang membuatnya harus mendapat vaksin AstraZeneca dosis pertama, pada beberapa pekan lalu.
"Saya menyadari sekarang tidak ada jalan lain lagi," katanya.
"Satu-satunya jalan bagi dunia untuk keluar dari pandemi ini adalah lewat vaksinasi," imbuhnya.
Di Sydney, sekarang semua warga dewasa didorong untuk mendapatkan vaksin AstraZeneca atau Pfizer secepat mungkin.
Libby Rann yang juga berasal dari New South Wales mengatakan kekhawatirannya selama ini, karena suaminya memiliki penyakit kronis.
Rann memutuskan untuk mendapatkan vaksin Pfizer, meski masih khawatir dengan keamanannya.
"Saya masih ragu-ragu sebenarnya," kata Libby sehari sebelum dia mendapatkan vaksin.
"Bagi saya sekarang mana hal yang terbaik dari dua hal buruk ini. Saya betul-betul tidak ingin terkena Covid-19, jadi saya terpaksa melakukan vaksinasi," lanjutnya.
Perempuan berusia 56 tahun tersebut mengatakan tidaklah anti-vaksin, namun ia melihat dirinya sebagai orang yang percaya dengan kekuatan alam, dan berhati-hati dengan apa yang masuk ke dalam tubuhnya.
"Kalau saya pusing saya minum Panadol. Namun, memasukkan bahan kimia ke dalam tubuh dengan bahan yang tidak saya ketahui kebenarannya membuat saya khawatir," katanya.
"Akhirnya, saya harus percaya, percaya bahwa ini adalah hal yang benar untuk dilakukan," ucapnya.
Berbagai bentuk motivasi
Julie Leask, profesor di bidang keperawatan dan kebidanan di University of Sydney, yang juga anggota kelompok kerja vaksin di WHO mengatakan ada berbagai alasan mengapa seseorang ragu-ragu untuk menjalani vaksinasi Covid-19.
Pengaruh terbesar adalah rekomendasi dari kalangan profesional kesehatan, katanya, disusul dengan seberapa mudah mendapatkannya, dan bila ada teman atau orang yang dikenal sudah mendapatkan vaksin Covid-19.
Dalam sebuah kelompok diskusi yang dilakukan harian The Washington Post beberapa bulan lalu, mereka yang sebelumnya ragu-ragu mendapatkan vaksin ditanya mengapa kemudian memutuskan untuk mendapatkannya.
Jawabannya bervariasi dan tergantung pada kepribadian masing-masing orang.
Bagi seorang perempuan berusia 60 tahun di Illinois, sebuah video seorang dokter University John Hopkins menjelaskan vaksin aman membuat dirinya mau divaksinasi.
Sementara, seorang perempuan berusia 39 tahun di New Jersey mengatakan alasannya adalah agar keluarganya bisa lebih mudah menonton pertandingan pertandingan baseball dari klab New York Yankees.
"Di Australia kita mungkin akan melihat mereka yang mulanya sangat ragu, kemudian beralih menjadi mau divaksinasi," kata Profesor Leask.
"Karena menemukan hal positif mengenai vaksinasi, diperkuat dengan keuntungan sosial, dan kadang juga keuntungan ekonomi," ucap Leask.
Alasan praktis seperti itu yang menjadikan warga Sydney Hannah Blencowe mengikuti program vaksinasi, meski program vaksinasi itu tidak sesuai dengan 'nilai-nilai yang dianutnya".
"Saya sangat memperhatikan apa yang bisa masuk ke dalam tubuh saya," kata Blencowe.
"Saya tidak pernah mendapat vaksin flu dan tidak pernah ikut vaksinasi sebagai orang dewasa, kecuali ada hal seperti Covid-19, walau saya sebenarnya masih juga ragu-ragu," ucapnya.
Hannah yang berusia 24 tahun sudah mendaftar untuk vaksinasi Pfizer pada November, karena dia merasa tidak akan bisa melakukan perjalanan internasional kalau tidak vaksin.
"Alasan kedua adalah tindakan berhati-hati. Bila terkena Covid-19 saya bisa tetap sehat, namun bisa tetap menularkannya kepada orang lain yang lebih lemah," ujar Hannah.
Secara keseluruhan dia mengatakan masih dalam posisi "bingung" dengan pendapat vaksinasi Covid-19, yang mungkin terlalu cepat disetujui di Australia, yang biasanya memiliki standar kesehatan yang tinggi.
"Tetapi, tampaknya apa pun itu, saya akan tetap ikut vaksinasi," katanya.
"Saya percaya tubuh saya bisa menahan penularan Covid-19 dan dalam waktu bersamaan, saya juga merasa tubuh saya akan melawan efek samping vaksinasi. Itulah yang jadi alasan saya," ungkapnya.
Bagi Vashti dan Libby, hal paling berat adalah mendengar begitu banyaknya pendapat orang-orang di sekitar mereka.
Libby mengatakan dia sedih dan kecewa dengan begitu besarnya perbedaan pendapat di komunitasnya.
"Saya memiliki beberapa teman dekat yang sangat anti-vaksin dan itu sangat menyulitkan," kata Libby.
"Tetapi bila saya harus mendengar pendapat yang benar, maka pendapat itu akan datang dari pakar virus, epidemiolog atau peneliti yang sudah bekerja di bidang ini selama 20-30 tahun," imbuhnya.
https://www.kompas.com/global/read/2021/08/03/204543570/sejumlah-orang-anti-vaksin-covid-19-telah-berubah-pikiran-ini-alasannya