Setelah 12 tahun berkuasa, Netanyahu harus menyerahkan kursi kepemimpinannya kepada mantan sekutu yang kini jadi rivalnya, Naftali Bennett.
Selama 10 tahun, dari periode 2009 sampai 2019, Netanyahu mendapatkan kemenangan meyakinkan dari sayap kiri dan tengah.
Namun, petaka mulai datang di 2019. Mengapa demikian? Berikut penjelasannya seperti dilansir dari Vox.
Berawal dari penangguhan wajib militer untuk Yahudi ultra Ortodoks
Dalam pemilu 2019, partai Netanyahu, Likud, dan sekutunya di sayap kanan mendapatkan suara mayoritas di Knesset.
Nampaknya, mereka akan meneruskan kekuasaan mereka yang begitu langgeng hingga partai nasionalis sekular, Yisrael Beiteinu, menolak bergabung.
Partai yang dipimpin Avigdor Lieberman itu tidak setuju pengecualian wajib militer bagi Yahudi ultra Ortodoks.
Ketidaksetujuan Yisrael Beiteinu tersebut membuat Benjamin Netanyahu tidak bisa membentuk pemerintahan.
Hingga akhirnya, Israel kembali memasuki pemilu kedua di September 2019. Saat itulah, muncul dugaan Netanyahu melakukan penyalahgunaan kekuasaan.
Sebelum 2009, PM Israel yang akrab disapa Bibi itu sempat menjabat sebagai orang nomor satu pada 1996 sampai 1999.
Kekalahannya dari Ehud Barak membuatnya sadar: dia harus mendekatkan publik dengan mengendalikan pers.
"Aku harus punya media sendiri," ujar dia saat itu. Jadi setelah kembali berkuasa pada 2009, Netanyahu melakukan manuver.
Dia mendekati dua media berpengaruh Israel, Yedioth Ahronoth dan portal online bernama Walla! News.
Netanyahu nampaknya sukses dengan Walla. Dia setuju media itu melakukan merger dengan syarat pemberitaannya harus mau dikendalikan.
Dengan upayanya mengendalikan media independen, apa yang dilakukan Netanyahu tidak saja tak demokratis, tetapi juga ilegal.
Karena itu Jaksa Agung Mandelblit, seorang konservatif, mengumumkan pada Februari 2019 bakal menyelidiki Netanyahu.
Mantan PM berusia 71 tahun itu menghadapi serangkaian dakwaan korupsi, penyuapan, yang bisa membuatnya dipenjara hingga 10 tahun.
Saat pemilu dihelat di September 2019, manuver Benjamin Netanyahu menghindari penuntutan makin menyeramkan.
Partai Likud mengusulkan adanya undang-undang yang membuat Bibi kebal hukum selama masih memegang jabatan.
Hasil pemilihan September 2019 pun tak konklusif. Netanyahu tidak memperoleh dukungan cukup guna membentuk pemerintahan.
Meski begitu, oposisi juga masih terpecah belah untuk mengganggunya sehingga pemilu kembali digelar di Maret 2020 dengan hasil serupa.
Tahun lalu, kedua kubu sepakat berhenti bertikai sementara karena mereka fokus menyelamatkan Israel dari wabah virus corona.
Karena tak sepakat dengan pembentukan koalisi di Desember 2020, pemilu keempat digelar di Maret tahun ini.
Tetapi, hasilnya menjadi bencana bagi Netanyahu karena oposisi sudah mulai menyatukan diri untuk melengserkannya.
Yair Lapid, Pemimpin Partai Yesh Atid memenangkan mayoritas blok yang menentang rezim Netanyahu.
Dia mendekati segala lini pemerintahan, sayap kiri, tengah, maupun kanan, untuk membentuk pemerintahan.
Kali ini, para penentang Netanyahu sepakat kegilaan politik selama dua tahun terakhir harus diakhiri.
Dalam diskusi koalisi, Bennett, pemimpin Yamina, menyatakan mantan sekutunya itu takkan menjadi mayoritas jika pemilu digelar lagi.
"Jika sudah begitu, maka kita akan memasuki pemilu keenam. Rakyat tak bisa terus-terusan seperti itu," ujar dia.
Jadi, pada Minggu waktu setempat, melalui pertemuan luar biasa, Benjamin Netanyahu pun resmi dilengserkan sebagai PM Israel.
https://www.kompas.com/global/read/2021/06/14/082321070/bagaimana-pm-israel-benjamin-netanyahu-mengalami-kejatuhannya