Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kisah Gado-gado yang Jadi "Raja Salad" di Ibu Kota Finlandia...

Popularitas gado-gado di Helsinki ibu kota Finlandia bahkan membuatnya jadi salah satu menu terfavorit, hampir menyamai rendang yang popularitasnya sudah mendunia.

Bali Brunch restoran Indonesia milik WNI di Finlandia, berkontribusi besar membuat gado-gado populer di kalangan masyarakat negara Skandinavia tersebut.

Galih Ganesha Putra Bulgamin (38) co-founder dan co-owner Bali Brunch Helsinki bercerita, gado-gadonya bisa laku 20-30 porsi sehari dalam masa normal (sebelum pandemi Covid-19).

Untuk kota yang hanya berpopulasi sekitar 950.000 orang, penjualan puluhan porsi gado-gado itu termasuk memuaskan.

Gado-gado racikan Bali Brunch Helsinki tanpa telur karena termasuk menu vegetarian, tidak direbus, dan sayurannya kukus.

"Jadi kita pakai baby spinach, pakai ruccola. Di Indonesia kan enggak pakai ruccola gado-gado. Cuma paduan rasanya sama aja kayak makan karedok enak," lanjut Galih yang sudah menetap di Finlandia selama 22 tahun.

Gado-gado khas Bali Brunch Helsinki dipatok seharga 12 euro per porsi, atau sekitar Rp 210.000.

Harga yang tinggi untuk ukuran di Indonesia, namun di Helsinki itu termasuk pas, tidak murah tapi juga tidak kemahalan.

"Hitungan di sana pas. Paling murah 6-7 euro (Rp 105.000-122.000), seperti McDonald's. Kalau ke restoran fine dining bisa habis sekitar 18 euro (Rp 315.000)," urai Galih saat menerangkan kisaran harga makanan di Helsinki.

Kebetulan saat itu di Finlandia ada event Restaurant Day yang digelar empat kali setahun. Di Restaurant Day semua orang boleh berjualan makanan tanpa harus izin dulu dan tanpa bayar pajak.

Galih beserta rekan-rekannya lalu coba-coba menjual makanan Indonesia. Hasil penjualannya ternyata lumayan menggiurkan, dan dari situ dari coffee shop mereka beralih ke makanan Indonesia.

Nama Bali kemudian dipilih karena sudah mendunia, dan nama brunch berasal dari kedai kopinya yang menyewa tempat untuk restoran dari jam 11.00-17.00 waktu setempat.

Pria campuran Ambon-Padang itu menerangkan, PT untuk Bali Brunch baru berusia 2,5 tahun. Secara brand mereka sudah sejak 2014, tapi waktu itu baru semacam jualan di rumah, kecil-kecilan, dan coba-coba.

"Pas kita bikin perusahaan segala macam namanya sudah terlalu bagus, terlalu keren untuk ganti nama," kata Galih.

Bali Brunch total dimiliki bersama oleh enam orang, yaitu Galih sendiri, Marissa Bulgamin, Anggi Bulgamin, Sandra Bulgamin, Dewi Loho, dan Ilkka Huuhka. Nama terakhir merupakan orang Finlandia.

Marissa adalah istri Galih, sedangkan Anggi adalah adik Galih dan merupakan suami Sandra.

Saat pandemi Bali Brunch buka hanya untuk pesan antar selama lockdown, dengan memakai jasa Wolt kurir makanan online.

Bali Brunch buka jam 11.00-19.00 waktu setempat. Selama lockdown tidak ada makan di tempat untuk restoran-restoran Helsinki.

Ada delapan menu yang dijajakan Bali Brunch, mulai dari rendang plate, chicken plate (pakai sambal colo-colo khas Ambon, semacam sambal kecap), chicken sate plate, gado-gado, vegan wok (tumis sayur), chicken wing disate, sampai iga bumbu sate.

"Kita tahu mesti jual ayam, jual daging, kita mesti jual vegan," papar Galih saat ide awal menentukan konsep restoran.

Untuk menu daging yang dipilih rendang karena popularitasnya mendunia. Kebetulan Galih sendiri meski kelahiran Jakarta tetapi keturunan Padang-Ambon. Sejak kecil ia terbiasa makan rendang khas padang.

Kemudian saat butuh menu vegan, setelah riset ditemukan menu sayuran paling populer di Indonesia adalah gado-gado. Gado-gado juga dipilih sebagai menu karena nama karedok di sana susah dieja.

"Dan kebetulan di Eropa orang juga suka makan salad, fresh salad".

Meski gado-gadi cukup populer, menu terfavorit di Bali Brunch masih dipegang rendang. Menariknya rendang Bali Brunch tidak dijual potongan tetapi dihancurkann seperti daging cincang agar pas timbangannya.

"Rendang masih bisa dibilang 30 persen dari delapan menu ini. Jadi cukup besar, cukup dominan," dengan per cabang dapat menjual 40-60 porsi sebelum pandemi.

Harga rendang sama dengan gado-gado dan menu lainnya yakni 12 euro. Hanya dua yang lebih tinggi harganya yaitu iga dan sayap ayam masing-masing 13 euro (Rp 227.000)

Tantangan menjual makanan Indonesia

Saat pertama membuka Bali Brunch, Galih menceritakan tantangan yang dihadapinya tidak hanya menjual makanan melainkan juga menjual nama Indonesia.

"Kita mesti jualan makanan dan kita mesti bantu ngejual nama Indonesia."

Butuh waktu 1,5 tahun bagi Galih untuk mempromosikan makanannya, karena butuh proses bagi konsumen guna mengenal serta mengeja nama.

Galih menuturkan, karena orang-orang Finlandia tak bisa mengeja rendang atau gado-gado, mereka sering memesan dengan menyebutkan kompsisinya.

"Sekarang orang sudah tahu rendang rasanya segini, gado-gado makanannya begini," lanjut Galih seraya tersenyum mengenang perjuangan masa lalu.

Untuk membuat gado-gado di negara yang malam harinya bisa mencapai 19 jam saat musim dingin itu, Galih mengaku bahan-bahannya tidak susah didapat.

"Di sini European Union (Uni Eropa) dapat barangnya juga dari mana-mana. Rata-rata kalau yang oriental datangnya dari Jerman sama Belanda".

Ia menerangkan, di Helsinki juga ada semacam greenhouse tapi tidak cukup untuk warga satu kota plus restoran.

"Biayanya juga sangat mahal, sekilo bisa 30 kali lipat lebih mahal waktu winter (musim dingin)," ungkapnya.

Adaptasi lain yang dilakukan Bali Brunch adalah pola konsumsi makanan warga setempat sehari-hari.

Di Finlandia orang cenderung mengonsumsi menu sayuran atau makanan sehat saat hari kerja, dan di akhir pekan lebih menggemari hidangan berat.

"Senin orang banyak makan ayam sama gado-gado. Weekend orang pesan yang berat-berat, rendang, ribs, chicken wings. Makanan berat kalau di weekend cepat lakunya, mereka seperti treat themselves."

"Kalau hari kerja mungkin orang berpikir banyak aktivitas, bisa mengantuk, jadi engga makan berat," terang Galih.

"Mungkin Korea sama Jepang (mirip gado-gado Indonesia), tapi saus kacangnya mereka lebih asem, lebih milky, lebih kental."

Di Helsinki saja sudah ada tiga cabang Bali Brunch, dan hanya mereka yang menjual makanan Indonesia.

Galih pun bercerita, dulu sebelum pandemi ada 16 pegawai buat 3 cabang, tetapi saat pandemi tinggal sisa 3 pegawai dengan masing-masing satu orang di tiap cabang .

"Sekarang semua lima owner turun tangan kerja, jadi ada delapan yang kerja."

Meski pandemi virus corona memukul telak bisnisnya, Galih enggan menyerah. Ia bahkan sedang menyiapkan cabang Bali Brunch keempat, berencana membuka franchise, dan anak restoran baru.

"Kita sekarang lagi nyari-nyari investor, pendanaan, soalnya kita sudah dapat tawaran buat buka di Belanda, Swedia, sama Jerman."

Kemudian untuk anak restorannya nanti juga bakal menyajikan delapan menu tetapi dengan konsep berbeda.

"Nama restorannya Tumis, dan di restoran yang ini kita memutuskan untuk jual semua makanannya dengan nama Indonesia. Penjelasannya bahasa Inggris, cuma nama menunya teri sambal balado, misalnya."

Menu-menu di Tumis nanti antara lain ikan teri sambal balado, bebek goreng balado, dan bihun goreng.

"Semuanya basically based on balado, menggunakan sambal buatan sendiri, King of Sambal."

Produk sambal khas Tumis itu satu jar-nya dibanderol seharga 7,5 euro (Rp 131.000).

https://www.kompas.com/global/read/2021/04/22/165512070/kisah-gado-gado-yang-jadi-raja-salad-di-ibu-kota-finlandia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke