Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengenal Electoral College, Kunci Kemenangan di Pilpres AS

Setiap empat tahun, orang-orang yang duduk di Dewan Elektoral adalah yang sebenarnya menentukan siapa presiden dan wakil presiden baru AS.

Berikut adalah penjelasan apa itu Electoral College dan mengapa jadi kunci kemenangan di pilpres AS.

Ketika orang-orang Amerika pergi ke TPS, mereka sebenarnya memilih sekelompok pejabat yang akan menduduki Electoral College.

Kata "college" di sini bermakna sekelompok orang dengan tugas bersama. Orang-orang ini disebut electors, dan tugasnya adalah memilih presiden serta wakil presiden.

Pertemuan Dewan Elektoral dilakukan 4 tahun sekali, beberapa minggu setelah hari pemilihan.

Bagaimana cara kerja Electoral College?

Dilansir dari BBC pada Rabu (28/10/2020), setiap negara bagian secara kasar punya jumlah electors sesuai jumlah penduduknya. Semakin banyak penduduknya, maka elector-nya semakin banyak.

Masing-masing dari 50 negara bagian AS ditambah Washington DC memiliki jumlah electoral votes yang sama dengan jumlah anggotanya di DPR ditambah dua Senator mereka.

California memiliki jumlah electors terbanyak yaitu 55, sedangkan negara-negara bagian yang berpenduduk sedikit seperti Wyoming, Alaska, dan North Dakota (serta Washington DC sebagai ibu kota) minimal punya 3, sehingga total ada 538 electors.

Setiap elector mewakili jatah satu electoral vote, dan capres harus meraup minimal 270 electoral votes untuk melenggang ke Gedung Putih.

Misalnya jika seorang capres menang 50,1 persen suara di Texas, dia akan mendapat semua dari 38 electoral votes di negara bagian itu.

Oleh karena itu capres bisa menjadi presiden AS dengan memenangkan sejumlah negara bagian krusial, meski memiliki suara publik yang lebih sedikit dari seluruh negeri.

Hanya negara bagian Maine dan Nebraska yang menggunakan metode "distrik kongresional".

Artinya, satu elector dipilih di setiap distrik kongresional berdasarkan pilihan rakyat, sedangkan dua electors lainnya dipilih berdasarkan pilihan terbanyak rakyat di seluruh negara bagian.

Inilah sebabnya mengapa para capres menargetkan negara bagian tertentu, daripada mencoba memenangkan sebanyak mungkin suara publik di seluruh penjuru negeri.

Adakah capres yang kalah popular vote tapi menang pilpres?

Ada dua dari lima pilpres terakhir yang dimenangkan oleh capres dengan suara publik lebih rendah dibandingkan lawannya.

Terbaru, pada 2016 Donald Trump kalah hampir 3 juta suara publik dari Hillary Clinton tapi berhak menduduki kursi nomor 1 di Gedung Putih karena menang mayoritas di Electoral College.

Sebelumnya pada 2000 George W Bush juga menang di Electoral College dengan 271 suara, meski Al Gore dari Partai Demokrat unggul lebih dari 500.000 suara di popular votes.

Mundur lebih jauh ke belakang, ada tiga presiden lain yang menang pilpres walau kalah di popular votes yaitu John Quincy Adams, Rutherford B Hayes, dan Benjamin Harrison. Semuanya pada abad ke-19.

Pada saat bersamaan, ada sejumlah dukungan bagi anggota parlemen di Washington DC untuk memilih presiden.

Para perumus undang-undang kemudian membentuk lembaga pemilihan, dan tiap negara bagian memilih para electors-nya.

Negara-negara bagian kecil mendukung sistem ini karena membuat mereka jadi punya lebih banyak suara untuk memilih presiden, ketimbang hanya mengandalkan popular votes.

Electoral College juga didukung di selatan yang mayoritas populasinya saat itu adalah budak. Meski para budak tidak punya hak suara, mereka dihitung dalam sensus AS sebagai tiga perlima orang.

Apakah electors harus memilih capres yang menang popular vote?

Di beberapa negara bagian, elector dapat memilih capres mana pun yang mereka sukai terlepas dari siapa yang didukung para pemilih.

Namun dalam praktiknya, para electors hampir selalu memilih capres yang memenangkan suara terbanyak di negara bagian mereka.

Jika seorang elector memberikan suara yang berlawanan dengan capres yang menang di negara bagian itu, mereka disebut "tidak setia".

Pada 2016 contohnya, ada 7 suara yang begitu tapi tidak signifikan memengaruhi hasil akhir pilpres.

Bagaimana jika tidak ada kandidat yang mendapat suara mayoritas?

DPR AS yang akan memilih presiden. Ini hanya terjadi sekali ketika pada 1824 empat capres sama kuat di electoral votes, tak ada yang mayoritas.

Akan tetapi dengan sistem dua partai yang diusung AS saat ini, kemungkinan serupa sangat kecil peluangnya untuk terulang.

https://www.kompas.com/global/read/2020/11/02/083352870/mengenal-electoral-college-kunci-kemenangan-di-pilpres-as

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke