Berdasarkan verifikasi Kompas.com sejauh ini, informasi ini tidak benar.
Tragedi ini telah terjadi sejak 1970-an. Puncaknya, pada awal 1980-an Pemerintah Myanmar secara resmi tidak mengakui Rohingya sebagai salah satu etnis di sana.
Nasib ini diperburuk karena adanya sentimen rasial dari warga Myanmar. Sentimen ini juga diperparah karena perbedaan fisik yang kentara antara warga etnis Rohingya dan kebanyakan warga Myanmar lainnya.
Puncak kekerasan terjadi pada 2017. Saat itu terjadi persekusi, pemerkosaan, hingga pembunuhan terhadap etnik Rohingya oleh warga mayoritas. Alih-alih meredakan, aparat keamanan dari pemerintah justru ikut melakukan kekerasan dan cenderung menjustifikasi persekusi yang diarahkan kepada kelompok tersebut.
Narasi yang mengeklaim, UNHCR merupakan komunitas pecitraan yang dibuat oleh Amerika Serikat tidak benar atau hoaks.
Adapun UNHCR merupakan organisasi global yang menyatakan untuk berdedikasi menyelamatkan nyawa, melindungi hak-hak, dan membangun masa depan bagi orang-orang yang terpaksa meninggalkan tempat tinggalnya karena konflik dan penganiayaan.
UNHCR didirikan oleh PBB pada tahun 1950 setelah Perang Dunia Kedua untuk membantu jutaan orang yang kehilangan tempat tinggal.
Adapun masyarakat Rohingya menjadi korban genosida sistematis yang terjadi di Myanmar. Nasib mereka diperburuk adanya diskriminasi serta sentimen rasialisme. Dengan demikian, tidak ada bukti masyarakat Rohingya menjadi korban Amerika Serikat.
UNHCR sebelumnya menyebutkan, kebencian terhadap pengungsi Rohingya yang terjadi di Indonesia terjadi akibat misinformasi yang disebarkan oleh kampanye yang terkoordinasi.
Penyebaran misinformasi untuk menyebarkan kebencian, terutama terhadap korban genosida, memang berpotensi menjadi bencana kemanusiaan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.