KOMPAS.com - Pada 14 Juli 2004, Indonesia kehilangan sosok polisi jujur dan sederhana, Jenderal Hoegeng Iman Santoso.
Mantan Kepala Kepolisian RI periode 1968-1971 itu mengembuskan napas terakhirnya pada usia 83 tahun akibat penyakit stroke.
Sebelum wafat, Hoegeng sempat dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Dilansir Harian Kompas edisi 15 Juli 2004, kabar meninggalnya Hoegeng membuat banyak orang berduka.
Sejumlah petinggi Polri serta tokoh nasional melayat ke rumah duka di Pesona Khayangan, Depok, Jawa Barat.
Kala itu, banyak yang menyarankan agar Hoegeng dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, sebab ia dianggap telah banyak berjasa bagi negara.
Namun pihak keluarga menolak. Hoegeng pernah berwasiat agar dimakamkan di TPU Giritama, Desa Tonjong, Kecamatan Bojonggede, Bogor, bersama dengan rakyat biasa.
"Bapak menghendaki lokasi pemakaman di tempat itu, bukan di Taman Makam Pahlawan Kalibata," kata Aditya Soesanto, putra kedua Hoegeng.
Hoegeng lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, 14 Oktober 1921. Ayahnya, Soekardjo Kardjihatmodjo adalah ambtenaar, atau pegawai pemerintah Hindia Belanda.
Selepas lulus SMA, Hoegeng melanjutkan ke Recht Hoge School (Sekolah Tinggi Hukum) di Batavia.
Namun ia tidak merampungkan studinya karena Jepang menyerbu Hindia Belanda. Lantas, Ia kembali ke Pekalongan.
Setelah pulang ke Pekalongan ia mengikuti kursus polisi yang diselenggarakan Pemerintah Jepang.
Ketika Indonesia merdeka, kariernya sebagai polisi terus menanjak sampai diangkat menjadi Kapolri pada 1968.
Bagi Hoegeng, jabatan sebagai Kapolri adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan. Ia menginginkan institusi Polri bersih dan dicintai rakyat.
Polisi tidak boleh alergi terhadap kritik. Menurutnya keluhan masyarakat yang didasarkan pada fakta sangat diperlukan untuk melakukan perbaikan.