KOMPAS.com - Pada 1889, federasi partai sosialis di Eropa menetapkan 1 Mei sebagai Hari Buruh atau May Day untuk memperingati Tragedi Haymarket.
Tragedi bermula ketika buruh berunjuk rasa di Haymarket Square, Chicago, Amerika Serikat (AS), pada 4 Mei 1886.
Mereka menuntut pengurangan jam kerja menjadi 8 jam dan mengecam tindakan brutal polisi saat demonstrasi sehari sebelumnya.
Namun, unjuk rasa berakhir ricuh mengakibatkan delapan orang tewas dan ratusan luka-luka.
Sejak saat itu, Hari Buruh diperingati oleh para pekerja di seluruh dunia. Berbagai negara pun mengakui dan menetapkan 1 Mei sebagai hari libur.
Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1948 mengatur bahwa setiap 1 Mei buruh boleh tidak bekerja.
Aturan itu dipertegas oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2013 yang menetapkan kembali 1 Mei untuk diperingati sebagai Hari Buruh Internasional, sekaligus hari libur nasional.
Peringatan Hari Buruh di Indonesia diperingati sejak masa kolonial atau ketika masih bernama Hindia Belanda.
Dikutip dari Kompaspedia, pada 1 Mei 1918, ratusan anggota serikat buruh Kung Tang Hwee Koan menggelar peringatan Hari Buruh di Surabaya. Ini merupakan yang pertama di Indonesia, juga di Asia.
Peringatan tersebut diselenggarakan menyusul rapat Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV), organisasi politik berhaluan Marxisme-Leninisme, di Dagen, Yogyakarta, pada Maret 1918.
Dalam rapat, tokoh sosialis Belanda, Adolf Baars, menyerukan kritik kepada kaum kapitalis terkait sistem harga sewa tanah milik penduduk bumiputra yang terlalu murah untuk dijadikan perkebunan. Baars juga memprotes soal upah buruh murah.
Peringatan saat itu belum menarik partisipasi penduduk bumiputra dan masih didominasi oleh orang-orang Eropa, namun, menjadi tonggak bagi kaum buruh bumiputra untuk berani menyuarakan pendapat serta tuntutannya.
Selama periode 1920-an, gerakan buruh berkembang pesat di Hindia Belanda. Terdapat lebih dari 20 serikat buruh yang memobilisasi aksi mogok.
Puncaknya terjadi pada 1926, ketika organisasi buruh di bawah Partai Komunis Indonesia melakukan pemberontakan.
Gerakan tersebut gagal dan berhasil dipatahkan. Pemerintah pun bertindak semakin represif pada gerakan buruh.
Serikat buruh di Hindia Belanda mendapatkan tekanan dan organisasi buruh progresif dibubarkan.
Mereka yang terlibat pemberontakan dibuang ke Digul, Papua. Akibatnya, aktivitas politik buruh menjadi lemah.
Kondisi tersebut terus berlanjut pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Menurut Jafar Suryomenggolo dalam buku Rezim Kerja Keras, pada masa kekuasaan Jepang semua serikat buruh dilarang dan dibubarkan.
Semua potensi tenaga kerja dikerahkan untuk proyek kerja paksa guna mendukung Jepang dalam perang melawan sekutu.
Pada masa itu buruh disebut romusha, artinya buruh kasar. Mereka dipekerjakan dalam proyek militer maupun proyek pekerjaan umum. Perempuan muda juga dipaksa menjadi ianfu, pemuas kebutuhan seksual tentara Jepang.
Hari Buruh baru diperingati kembali pascaproklamasi kemerdekaan, yaitu 1 Mei 1946. Saat itu, peringatan Hari Buruh diselenggarakan ditingkat nasional maupun lokal.
Di tingkat nasional, pemimpin serikat buruh memberikan pidato lewat siaran radio.
Lagu kebangsaan “Indonesia Raya”, lagu perjuangan buruh “Internasionale”, dan lagu “Satoe Mei” yang merupakan lagu perjuangan buruh di Indonesia ikut diperdengarkan.
Akan tetapi, gerakan buruh di Indonesia pascakemerdekaan mengalami guncangan besar setelah Presiden Soeharto dan rezim Orde Baru berkuasa.
Peristiwa pembunuhan para jenderal di Jakarta atau Peristiwa 30 September 1965, dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ormas-ormasnya dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab, berdampak besar bagi gerakan buruh.
Organisasi buruh dibubarkan dan dilarang karena pemerintah menganggap mereka bersimpati atau berafiliasi pada gerakan sayap kiri yang identik dengan komunisme.
Kata buruh dihindari oleh pemerintah dan diganti dengan kata karyawan atau pegawai.
Gerakan buruh baru mendapatkan kembali eksistensi dan kekuatan politiknya pada masa reformasi. Sejak kejatuhan Soeharto, hari buruh kembali rutin dirayakan setiap tahun.
Serikat-serikat buruh juga kembali bermunculan dan kembali menunjukkan eksistensinya, seperti Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Serikat Pekerja Nasional (SPN), dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI).
https://www.kompas.com/cekfakta/read/2024/05/02/083000682/menilik-riwayat-peringatan-hari-buruh-di-indonesia