KOMPAS.com - Perlawanan yang dikobarkan para pejuang Indonesia dalam Pertempuran Surabaya, Oktober-November 1945, mampu merepotkan pasukan Sekutu, dalam hal ini tentara Inggris.
Perjuangan juga dilakukan oleh mereka yang mengabarkan kondisi di medan tempur melalui siaran Radio Pemberontakan yang dibentuk oleh Sutomo atau Bung Tomo. Melalui siaran radio, Bung Tomo juga mempropagandakan semangat untuk mempertahankan kemerdekaan.
Pada 15 Oktober 1945, Radio Pemberontakan mengumumkan kepada warga negara asing di Surabaya yang mendukung perjuangan Indonesia untuk membantu penyiaran dalam bahasa Inggris, agar semangat melawan penjajahan bisa didengar dunia internasional.
Orang yang menjawab panggilan tersebut adalah K'tut Tantri. Perempuan Amerika-Skotlandia itu secara sukarela menjadi penyiar untuk Radio Pemberontakan.
K'tut Tantri adalah seorang perempuan berkebangsaan Amerika Serikat yang lahir di Skotlandia pada 1898 dengan nama Muriel Stuart Walker. Pada usia 34 tahun, dia pindah ke Bali dari Amerika setelah terpesona film Bali, The Last Paradise.
Tantri menuliskan kisah hidupnya, termasuk perannya dalam Pertempuran Surabaya, dalam otobiografi Revolt in Paradise atau Revolusi di Nusa Damai.
Dalam buku tersebut, Tantri menceritakan bahwa ia diangkat keluarga oleh Kerajaan Klungkung di Bali dan mendapatkan nama baru.
"Kau kami namakan K'tut, yang dalam bahasa Bali berarti anak keempat. Segera akan kupanggil pedanda. Menurut adat leluhur kami, kau akan kami beri nama lain, yang akan merupakan nama yang ditakdirkan untukmu," cerita Tantri dalam otobografinya, menirukan kata sang Raja Klungkung, ayah angkatnya.
Selama tinggal di Kerajaan Klungkung, Tantri semakin cinta dengan bangsa dan negeri ini. Dia pun turut membantu perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Mengecam pengeboman Surabaya
Pada 9 November 1945, Mayor Jenderal Mansergh memberikan ultimatum kepada warga Surabaya. Mansergh merupakan Panglima Divisi Infanteri India Kelima yang menggantikan Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby.
Mallaby tewas dalam baku tembak 30 Oktober 1945. Kematiannya menyulut amarah pihak Sekutu, terutama tentara Inggris, yang bersumpah akan membumihanguskan Surabaya.
Mendapat ultimatum dari Inggris, para pejuang yang berada di Surabaya tidak gentar sedikit pun. Mereka justru bersiap untuk menghadapi gempuran musuh.
Tantri yang mendengar rencana Inggris membumihanguskan Surabaya dengan segera menyalakan siaran Radio Pemberontakan dan melontarkan kecaman.
"Bangsa Indonesia tidak akan pernah tunduk pada kalian, bahkan jika kalian mengebom Surabaya hingga rata dengan tanah dan membunuh setiap pria, wanita, dan anak-anak. Ultimatum ini adalah penghinaan bagi bangsa Indonesia dan bagi kedaulatan mereka. Jika kalian melakukannya, maka ini akan tercatat sebagai lembaran hitam dalam sejarah Inggris," kata Tantri.
Pimpinan Inggris mengabaikan kecaman Tantri, dan di saat bersamaan, pejuang Indonesia juga tidak bersedia tunduk pada ultimatum Inggris.
Pada 10 November 1945, Surabaya berubah menjadi medan tempur dahsyat ketika pesawat-pesawat Inggris menjatuhkan bom dan para pejuang Indonesia melawan sekuat tenaga.
Diburu Belanda
Di Radio Pemberontakan, Tantri diminta siaran dua kali semalam dalam bahasa Inggris. Dia menyampaikan laporan perkembangan yang terjadi di Indonesia kepada seluruh dunia.
Beberapa hari setelah peristiwa 10 November, Tantri menghubungi perwakilan negara-negara asing yang memiliki atase diplomatik atau komersial di Surabaya. Negara yang berhasil dihubungi yaitu Denmark, Swiss, Rusia, dan Swedia.
"Saya meminta mereka bergabung dengan siaran malam itu untuk mengecam apa yang telah dilakukan Inggris. Semuanya sepakat. Malam itu kami bercerita, dan dampaknya luar biasa. Stasiun di negara-negara lain menerima siaran itu dan memperdengarkannya. Koran-koran dari negeri seberang turut memuatnya," ungkap Tantri.
Sepak terjang Tantri membuatnya dijuluki "Surabaya Sue" atau penggugat dari Surabaya. Dia juga dianggap berbahaya oleh pihak Belanda.
Melalui siaran berita, Belanda menjanjikan 50.000 gulden kepada orang Indonesia yang bisa menyerahkan K'tut Tantri ke markas besar tentara Belanda di Surabaya. Sayembara tersebut dijawab sendiri oleh Tantri melalui siarannya di radio.
"Kalian tahu, uang gulden Belanda kini tidak laku lagi di Indonesia," kata dia.
"Kami sudah memiliki mata uang sendiri. Tetapi, jika Belanda mau menyumbangkan setengah juta rupiah pada bangsa Indonesia sebagai dana perjuangan kemerdekaan, saya bersedia datang sendiri ke markas besar kalian," tantang Tantri.
Akhir hayat K'tut Tantri
Setelah peristiwa Surabaya, K'tut Tantri melakukan perjalanan keliling Indonesia bersama tokoh-tokoh perjuangan yang lain.
Ia juga menulis artikel, salah satunya di majalah The Voice of Free Indonesia. Salah satu artikel Tantri yang membuat Belanda marah adalah "Lest We Forget" - "Agar Kita Jangan Lupa".
Sang penggugat dari Surabaya itu mengakhiri perjalanan hidupnya pada usia 99 tahun. Dia wafat di sebuah panti jompo di Redferd, Sydney, New South Wales, pada 27 Juli 1997.
Menjelang upacara kremasi, bendera Indonesia dan lembaran kain kuning dan putih khas Bali terhampar di atas petinya.
Pada November 1998, Pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan Bintang Mahaputra Nararya kepada wanita yang kini bernama lengkap Ni K’tut Tantri.
Penghargaan itu merupakan penghargaan tertinggi kedua yang dia terima bukan hanya karena keterlibatannya dalam Pertempuran Surabaya 1945, melainkan atas jasanya sebagai wartawan sekaligus pegawai Kementerian Penerangan pada 1950.
https://www.kompas.com/cekfakta/read/2022/11/10/211113282/ktut-tantri-penyiar-radio-pemberontakan-saat-pertempuran-surabaya