Keberhasilan para ilmuwan mengkloning Dolly dari sel domba dewasa, lalu menanamnya ke induk pengganti hingga akhirnya lahir ke dunia, menjadi terobosan besar di bidang sains.
Sejak saat itu, kloning tak lagi menjadi hal yang mustahil, dan bahkan menjadi sebuah prosedur yang terus disempurnakan oleh para ilmuwan.
Namun demikian, ternyata masih banyak hal-hal seputar kloning yang disalahpahami oleh banyak orang, hingga melahirkan beragam mitos terkait prosedur itu.
5 mitos terkait kloning hewan
Dikutip dari laman resmi Food & Drug Administration (FDA) Amerika Serikat, berikut sejumlah mitos seputar kloning:
1. Mitos: kloning adalah DNA hewan tertentu yang dicangkokkan ke tubuh lain
Menurut FDA hal itu tidak benar. Klon dilahirkan sama seperti hewan lainnya. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa klon tidak memerlukan sperma dan sel telur untuk bersatu menjadi embrio.
Embrio klon dibuat dengan menggunakan seluruh sel atau inti sel dari hewan donor dan menggabungkannya ke sel telur yang intinya dihilangkan.
Embrio itu ditanamkan ke dalam rahim pengganti (istilah ternak yang digunakan peternak untuk merujuk pada induk betina dari seekor hewan) untuk tumbuh seolah-olah itu berasal dari transfer embrio atau fertilisasi in vitro.
2. Mitos: hewan hasil kloning memiliki tampilan dan temperamen yang identik dengan donornya
Mitos tersebut dibantah oleh FDA. Hewan hasil kloning tidak selalu identik dengan donornya.
Faktanya, banyak hewan hasil kloning yang memiliki sedikit variasi, misalnya dalam warna dan pola bulu.
Sementara itu, genetik tidak sepenuhnya memberikan pengaruh dalam pembentukan temperamen. Temperamen lebih banyak dipengaruhi oleh cara hewan dibesarkan.
3. Mitos: hewan hasil kloning mudah terserang masalah kesehatan
Menurut FDA, sebagian besar klon babi dan kambing lahir sehat, tumbuh normal, dan tidak lebih rentan terhadap masalah kesehatan daripada rekan-rekan non-klon mereka.
Kebanyakan klon yang normal saat lahir menjadi sekuat dan sehat seperti hewan muda lainnya.
Klon anak sapi dan domba dengan kelainan saat lahir dapat terus memiliki masalah kesehatan selama beberapa bulan pertama.
Akan tetapi setelah usia enam bulan, mereka benar-benar tidak dapat dibedakan dalam penampilan dan pengukuran darah dari hewan yang dibiakkan secara konvensional pada usia yang sama.
4. Mitos: hewan hasil kloning berumur pendek
Sebagian besar ilmuwan memperkirakan, penuaan pada mamalia berhubungan bagian dari kromosom yang disebut telomer, yang berfungsi sebagai semacam jam di dalam sel.
Telomer cenderung panjang saat lahir, dan memendek seiring bertambahnya usia hewan.
FDA menyebutkan, sebuah studi tentang domba Dolly menunjukkan bahwa telomernya lebih pendek dari donornya (yang lebih tua), meskipun Dolly jauh lebih muda.
Untuk diketahui, Dolly mati pada 14 Februari 2003 pada umur enam tahun. Usia yang terbilang cukup muda.
Namun, studi klon lain telah menunjukkan bahwa telomer dalam klon lebih pendek di beberapa jaringan dalam tubuh, dan sesuai usia di jaringan lain. Penelitian klon lain menunjukkan bahwa telomer sesuai dengan usia di semua jaringan.
Meskipun panjang telomer dilaporkan dalam penelitian yang berbeda, kebanyakan klon tampak menua secara normal.
Faktanya, klon sapi pertama yang pernah diproduksi masih hidup, sehat, dan berumur 10 tahun per Januari 2008.
5. Mitos: daging hewan hasil kloning sudah beredar di pasaran
Setelah bertahun-tahun melakukan studi dan analisis yang mendetail, FDA menyimpulkan bahwa daging dan susu dari klon sapi, babi, dan kambing, serta hasil kloning dari spesies apa pun yang secara tradisional dikonsumsi sebagai makanan, sama amannya untuk dimakan seperti makanan dari hewan yang dibiakkan secara konvensional.
Kendati demikian, FDA menyebutkan bahwa daging hewan hasil kloning tidak akan memasuki pasaran, karena hewan hasil kloning biasanya hanya digunakan untuk keperluan breeding.
https://www.kompas.com/cekfakta/read/2022/02/23/091446082/5-mitos-terkait-kloning-hewan