SEBAGAI seorang insan warga Indonesia berbahasa Indonesia adalah wajar bahwa secara subyektif saya lebih nyaman menggunakan istilah nisbimologi ketimbang relativisme apalagi sebenarnya para mahapemikir juga belum berhasil sepakat dalam hal takrif atas relativisme itu sendiri.
Ketertarikan para pemikir pada nisbimologi sebagai doktrin filosofis sudah menggeliat sejak zaman Yunani kuno, maka para pemikir Jawa senantiasa berpegang pada kearifan Ojo Dumeh.
Namun, akhir-akhir ini, nisbimologi juga terbukti populer tidak hanya sebagai posisi filosofis, namun juga sebagai gagasan yang mendasari pandangan normatif etika dan politik.
Pada hakikatnya dagelan atau tragedi yang terjadi di atas panggung politik kekuasaan Indonesia masa kini sangat menarik untuk diterawang dengan lensa nisbimologi.
Tampak jelas bahwa tujuan utama Reformasi menghadirkan demokrasi bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme gagal total.
Kegagalan Orde Reformasi tersirat pada KPK dimanfaatkan senjata penguasa menyandara para lawan politik demi memperkokoh kekuasaan yang sebenarnya sudah mereka kuasai sementara terminologi nepotisme secara eufemistik diganti menjadi politik dinasti.
Di semesta sains, Albert Eintein berhasil menyeret relativisme masuk ke episentrum gempa perdebatan fisika maupun metafisika sambil berlawanan arah dengan Niels Bohr beserta para mahapemikir Kopenhagen.
Sejumlah pertimbangan filosofis serta perkembangan sosio-historis menjelaskan minat yang berkelanjutan terhadap relativisme dan segenap terminologi padanannya.
Data mengenai keragaman sistem kepercayaan, dogma serta kerangka konseptual, dan gaya hidup sering kali digunakan oleh para filsuf dan antropolog untuk memberikan kredibilitas pada argumen filosofis yang mendukung nisbimologi.
Fakta mengenai keberagaman empiris saja tidak terbatas pada nisbimologi, namun sebagai doktrin filosofis, sering kali dianggap sebagai posisi yang wajar untuk diadopsi sehubungan dengan keberagaman empiris, sebagian akibat nisbimologi membantu memahami keberagaman tersebut tanpa perlu mendefinisikannya.
Relativisme deskriptif, sebuah posisi empiris dan metodologis yang diadopsi oleh para antropolog sosial, mengandalkan data etnografi untuk menyoroti minimnya norma, nilai, dan kerangka penjelasan yang disepakati secara universal.
Dari poligami sampai kanibalisme, dari takhayul sampai sains, dari kejujuran sampai ke kecurangan, kita menemukan perbedaan besar antara pandangan masyarakat dan pandangan individu.
Relativisme deskriptif sering digunakan sebagai titik awal polemik filosofis mengenai relativisme pada umumnya dan nisbimologi budaya pada khususnya.
Perbedaan radikal yang diamati antar budaya, menurut pendapat mereka, menunjukkan perlunya penilaian relativistik terhadap sistem nilai dan komitmen konseptual.
Sebaliknya, beberapa penganut paham universal anti-nisbimologi berpendapat bahwa yang mendasari perbedaan individu dan budaya, terdapat beberapa kesamaan inti dalam semua sistem kepercayaan dan pandangan sosio-kultural.