KOMPAS.com - Kasus dugaan kebocoran data kembali terjadi di Indonesia.
Terbaru, 34 juta data paspor WNI diduga bocor dan diperjualbelikan oleh peretas Bjorka dengan harga 10.000 dollar AS.
Bjorka juga diduga membocorkan 35 juta data pelanggan MyIndiHome dan dijual dengan harga 5.000 dollar AS.
Dua kejadian dugaan pembobolan data ini seolah menambah panjang kasus pencurian data masyarakat Indonesia.
Sebenarnya, apa bahaya di balik data warga yang bocor dan apa bisa situasi ini diatasi?
Baca juga: 34 Juta Data Paspor Diduga Bocor, Berikut 5 Kasus Dugaan Kebocoran Data di Indonesia
Baca juga: Penjelasan BIN soal Surat Presiden Disebut Bocor oleh Hacker Bjorka
CEO Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC, Pratama Persadha mengungkapkan bahwa kebocoran data sangat berbahaya bagi masyarakat.
"Data pribadi yang ada tersebut dapat dimanfaatkan oleh orang lain untuk melakukan tindak kejahatan seperti penipuan kepada orang yang datanya bocor maupun penipuan lain dengan mengatasnamakan data pribadi orang lain yang bocor tersebut," jelasnya kepada Kompas.com, Jumat (7/7/2023).
Pratama menambahkan, kondisi yang lebih berbahaya juga dapat muncul jika data pribadi tersebut digunakan untuk membuat identitas palsu bagi pelaku tindakan terorisme.
Selain itu, menurutnya, kebocoran data juga dapat merugikan pemerintah.
Baca juga: 7 Data Bocor yang Diungkap Raid Forums sebelum Diblokir Kominfo
Sumber kebocoran data yang diklaim berasal dari lembaga negara dapat membuat pihak lain yang menganggap faktor keamanan siber sektor pemerintahan rendah.
"Hal ini tentu saja akan mencoreng nama baik pemerintah di mata masyarakat Indonesia maupun dunia internasional karena pemerintah tidak sanggup melakukan pengamanan siber untuk institusinya," tambah dia.
Padahal, lanjutnya, Indonesia memiliki banyak pihak yang berkompetensi tinggi seperti BSSN, BIN, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
Baca juga: Data Pengguna IndiHome Diduga Bocor, Telkom: Tidak Ada Kebocoran Data
Pratama tidak memungkiri jika tidak ada sistem keamanan yang bisa 100 persen melindungi sistem yang dijaganya.
"Perkembangan serangan siber juga semakin canggih dan banyak perubahan variasi malware yang beredar sehingga hal ini juga menyulitkan untuk dideteksi," ujar dia.