Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jaya Suprana
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Matematika dan Politik

Kompas.com - 02/03/2023, 06:37 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

NASKAH berjudul “Matematika dan Politik” ini sengaja saya tulis sebagai lanjutan naskah “Matematika dan Musik” (Kompas.com, 16 Februari 2023) serta “Matematika dan Olaharga” (Kompas.com, 1 Maret 2023) demi memprovokasi berbagai pihak agar menuduh saya kebablasan maka mengada-ada dengan tema isapan jempol alias omong kosong mengaitkan matematika dengan politik.

Memang harus diakui bahwa politik pada masa monarki atau theokrasi tidak butuh matematika sebab kekuasaan bisa diejawantahkan secara dogmatis dan otoriter tanpa perlu dukungan perhitungan matematikal.

Tidak ada yang perlu diperhitungkan pada politik monarki dan theokrasi kecuali tentang bagaimana cara memungut upeti dari rakyat dengan paksaan yang tidak bisa sebab tidak boleh ditolak.

Namun setelah demokrasi mulai merangsek masuk ke semesta politik, maka mau tak mau suka tak suka politik mutlak membutuhkan matematika untuk menentukan siapa layak mulai berkuasa dan suapa layak lanjut berkuasa melalui apa yang disebut sebagai pemilihan umum.

Jelas secara mutlak pemilu butuh matematika meski matematika tidak butuh pemilu. Tanpa matematika mustahil perolehan suara rakyat bisa dihitung untuk menentukan siapa pemenang pemilu.

Bahkan anggaran untuk menyelenggarakan pemilu juga harus dihitung dengan menggunakan aritmatika.

Matematika juga ampuh sengaja didayagunakan demi membatasi jumlah warga yang berhak menyalonkan diri sebagai presiden lewat apa yang disebut sebagai presidential threshold alias ambang batas pencalonan presiden yang sementara ini di Indonesia ditetapkan minimal 20 persen sehingga mustahil ada warga mampu nyapres tanpa dukungan parpol.

Maka para bakal calon harus pandai berhitung secara matematikal agar bisa memperoleh dukungan para parpol demi lolos dari kendala presidential threshold.

Matematika juga mutlak dibutuhkan untk menghitung berapa besar nominal duwit perlu disetorkan untuk membiayai kampanye pemilu pihak yang sudi membiayai kampanye pemilu yang ternyata sungguh tidak murah.

Tidak jarang duwit hanya bisa diperoleh melalui proses hutang-piutang. Di samping konstruktif matematika juga bisa destruktif terhadap pemilu seperti terbukti terjadi di Amerika Serikat dengam sistem distrik yang dimanfaatkan secara curang dan licik oleh pihak yang tega menyalahgunakannya.

Matematika tidak hanya dibutuhkan terbatas pada masa pemilu sebab setiap pemerintah yang sah terpilih secara demokratis juga harus menggunakan matematika dalam menatalaksana manajen kepemerintahan terutama keuangan secara efektif dan efisien baik, benar, sehat serta tepat sasaran.

Politik antikorupsi juga butuh matematika akibat para koruptor piawai menggunakan matematika agar bisa optimal melakukan korupsi secara aman dan selamat.

Gaji para politisi juga mustahil bisa dibayar tanpa perhitungan matematikal secara akuntantif pada sistem penggajian aparat negara yang dibayar dengan uang rakyat melalui perpajakan.

Demi mampu menggratiskan pendidikan seperti tersurat pada UUD 1945 wajib butuh perhitungan matematikal yang cermat dan seksama sesuai falsafah gemi nastiti serta eling lan waspodo warisan Ki Hajar Dewantara agar kebijakan politik pendidikan nasional tidak melanggar ambang batas akhlak yang tersirat pada kearifan ngono yo ngono ning ojo ngono.

Saya yakin para politis sejati masih memiliki perbendaharaan kearifan terkait matematika politik secara lebih berlimpah-ruah lagi.

Karena saya bukan politikawan, namun sekadar rakyat jelata yang awam politik maupun dungu matematika maka mohon dimengerti untuk dimaafkan bahwa sebaiknya saya berhenti menulis naskah “Matematika dan Politik” ini sampai di sini saja. MERDEKA!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com