Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Giokniwati
Trainer, Coach, Consultant. Founder of Elevasi Performa Insani (elevasi.id)

Perempuan yang memiliki kegairahan dalam mengelevasi sumber daya manusia sehingga lebih berdaya, berkinerja unggul, dan memiliki makna. Seorang pengamat kehidupan yang memetik buah inspirasi untuk dibagikan kepada orang lain melalui tulisan maupun sesi bicara.

Sayap-sayap Patah: Selimut atau Kain Kafan

Kompas.com - 08/09/2022, 08:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KEGALAUAN seorang isteri anggota Densus 88 diungkapkan dalam sebuah adegan film Sayap-sayap Patah yang disutradarai Rudi Soedjarwo dan diproduseri oleh salah satunya Denny Siregar.

Nani—diperankan Ariel Tatum—berucap dengan nada khawatir bercampur kesal yang tentu saja dilandasi oleh rasa sayang, "Kamu gak paham gimana rasanya jadi istri yang gak pernah tahu suaminya kaya gimana di luar itu aman atau engga, aku gak tahu apa yang harus aku siapkan buat kamu itu selimut atau kain kafan.”

Selamat menonton filmnya secara utuh, ya.

Singkat cerita setelah perjuangan tak kenal lelah dalam menumpas teroris di negeri tercinta kita—Republik Indonesia—ini, kegalauan sang isteri menjadi kenyataan.

Dia perlu menyiapkan kain kafan. Bayi yang sudah dinanti sejak awal kisah yang selalu diajak ngobrol sang ayah—Adji, diperankan Nicholas Saputra—dengan origami telah menjadi yatim.

Pesan penting, jangan meninggalkan bioskop sebelum film benar-benar habis, sapu tanganmu akan diperlukan pada scene jelang film usai.

Jika mengambil analogi penerbangan, film ini mampu mendarat secara apik dan epik. Bulu saya merinding, rasa nasionalisme dan kecintaan pada pengabdi negara benar-benar terbangkitkan.

Sejenak melupakan hiruk pikuk kasus penembakan ajudan oleh pejabat tinggi Polri yang belakangan ini mendominasi berita di tanah air.

Iring-iringan mobil jenazah, kibaran sang merah putih, masyarakat yang berderet-deret di pinggir jalan maupun berbaris di jembatan penyeberangan menandakan betapa terhormatnya mangkat dalam sebuah pengabdian pada tugas negara.

Di bagian lain, rekan sejawat memberi hormat dengan raut muka duka. Di dalam mobil seorang isteri yang entah berada dalam state apa namanya, entah pula film apa yang sedang diputar di dalam layar pikirannya.

Saat menyaksikan film ini ada banyak pesan menginspirasi saya untuk menulis. Inilah salah satunya.

Sebuah pekerjaan tentunya membutuhkan usaha untuk menyelesaikannya. Tim Densus 88 yang perlu punya keahlian atau kompetensi dalam proses pencapaian target operasinya. Mencari info, mengintai, menyergap, menginterogasi, dan seterusnya.

Bahkan untuk pekerjaan sejenis ini tidak mengenal jam kerja yang pasti. Seringkali masakan isteri tidak sempat dimakan, atau hanya bisa meninggalkan pesan di secarik kertas demi tidak membangunkan tidur lelap sang isteri. Semua jerih lelah untuk kinerja terbaik diberikan secara total.

Dalam teori Abraham Maslow ada dua sumbu yang membentuk Aktualisasi Diri (Self-Actualization), salah satunya adalah performance atau kinerja.

Orang yang hanya fokus pada kesibukan kerja, kerja, kerja akan terjebak pada kuadran workaholic atau gila kerja yang pada akhirnya ada kehampaan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com