Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jaya Suprana
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Korban Peradaban Sensor Berdasar Tafsir

Kompas.com - 17/07/2022, 09:12 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SETELAH secara alasanologis dari kejauhan di Indonesia berupaya memahami kasus tragedi karya seni Taring Padi yang dipermasalahkan berbagai pihak pada perhelatan Documenta XV nun jauh di Kassel, Jerman, saya memberanikan diri menarik kesimpulan dari peristiwa buruk tersebut.

Derita yang dialami oleh Taring Padi di Jerman saya alami sendiri secara jiwa raga pada tahun 1980-an abad XX di mana rezim otoriter represif Orba sedang pada masa puncak kejayaan.

Adalah kesalahan atau kejahilan puncak saya sendiri bahwa justru pada masa puncak kejayaan rezim Orba itu saya malah nekat menyelenggarakan berbagai pameran kartun.

Padahal kartun justru dianggap oleh rezim Orba sebagai media seni yang paling berbahaya menggerogoti kewibawaan penguasa.

Satu di antara sekian banyak pameran kartun yang saya selenggarakan adalah Pameran Kartun Tunggal oleh Basnendar Herry Prilosadoso yang pada masa itu masih berusia 11 tahun di kota Semarang.

Para petugas Dinas P & K kota Semarang menunaikan tugas dengan baik maka gigih berupaya melarang pameran kartun anak kecil dengan kreatif mengkhayal alasan mulai dari yang agak lumayan tidak masuk akal sampai yang sama sekali tidak masuk akal kecuali akal tidak sehat.

Akibat saya dan teman-teman kartunis Semarang di bawah pimpinan Yehanna ngotot melawan, maka Kepala Dinas P & K Semarang makin gusar maka melapor ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta untuk memperoleh surat larangan Basnendar asal Wonogiri pameran di STM Pembangunan Semarang yang ditandatangani langsung tidak kurang dari Mendikbud Prof Daud Yusuf.

Tentu saja saya tidak mau menyerah kalah melawan angkara murka kekuasaan otoriter ingin memberangus karsa dan karya kartun anak-anak pedesaan, maka segera mohon ijin langsung dari Gubernur Jateng, Soepardjo Rustam untuk menyelenggarakan pameran yang dilarang Mendikbud tersebut di balai desa di depan kediaman saya di kawasan jalan Ki Mangunsarkoro, Semarang.

Sebaliknya Kadis P & K Semarang yang loyal garis lurus kepada atasannya juga tidak mau menyerah begitu saja maka mendampingi Gubernur Jateng ketika datang ke balai desa Karangwulan untuk membuka dan menyaksikan karya-karya kartun Basnendar.

Dengan mata dan telinga di kepala sendiri, saya melihat dan mendengar bagaimana perjuangan Kadis P & K Semarang berupaya menghasut Gubernur Jateng dengan tafsir semau gue mengenai sebuah kartun karya Basnendar yang memukiskan seekor kura-kura sedang merangkak.

Kadis P & K Semarang menghasut dengan tafsir dahsyat atas kartun kura-kura tersebut seolah sebuah penghinaan terhadap Gubernur Jateng sebagai pejabat bersifat lamban seperti kura-kura! Gile!

Syukur Alhamdullilah pak Pardjo alih-alih marah malah tertawa sambil menasehati Kadis P & K Semarang jangan mengada-ada dengan tafsir ngawur maka kebablasan.

Dari peristiwa Gubernur gagal dihasut Kepala Dinas Kesenian tersebut saya memberanikan diri menarik kesimpulan bahwa pada hakikatnya Taring Padi di Kassel, Jerman senasib dengan Basnendar di Semarang dalam hal terpaksa menghadapi sensor akibat hasutan tafsir.

Hanya beda dalam hal Taring Padi tidak seberuntung Basnendar karena penguasa di Semarang pada awal tahun 1980-an abad XX ternyata tidak termakan hasutan tafsir seperti penguasa di Kassel pada asal tahun 1920-an abad XXI.

Sebagai catatan tambahan dari Mas Yehana: syukur alhamdullilah di masa kini Basnendar Herry Prilosadoso telah berkarya sebagai dosen di Institut Seni Indonesia, Solo.

Para kartunis negara-negara tirai besi dan tirai bambu seperti Uni Sowyet, Rumania, Polandia, Republik Rakyat China, Korea Utara juga tidak seberuntung Basnendar sebab konon beberapa di antara mereka dipanggil polisi masing-masing negara mereka setelah ketahuan berani mengirimkan kartun masing-masing untuk ikut dipamerkan pada Festival Kartun Internasional Canda Laga Mancanegara juga di Semarang tak lama setelah pameran kartun tunggal Basnendar terselenggara.

Mereka semua adalah para kurban peradaban sensor berdasar tafsir. Seperti sabda Bertold Brecht bahwa sengsara negara yang tidak punya humor namun lebih sengsara negara yang butuh humor.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com