Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jaya Suprana
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Dunia Ini Panggung Sandiwara

Kompas.com - 19/02/2022, 06:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TAMPAKNYA Ahmad Albar sepaham dengan William Shakespeare dalam menganggap “Dunia ini panggung sandiwara” sebagai ungkapan pemahaman tentang makna apa yang disebut sebagai kehidupan ini.

Shakespeare

Di dalam lelakon As You Like It , tokoh bikinan Shakespeare bernama Jacques pada Act II, Scene VII bermonolog dalam bahasa Inggris yang sengaja tidak berani saya alih-bahasakan ke Indonesia agar tidak kehilangan inti sukma maknanya:

All the world’s a stage, And all the men and women merely players; They have their exits and their entrances, And one man in his time plays many parts, His acts being seven ages. At first, the infant, Mewling and puking in the nurse’s arms. Then the whining schoolboy, with his satchel And shining morning face, creeping like snail, Unwillingly to school. And then the lover, Sighing like furnace, with a woeful ballad. Made to his mistress’ eyebrow. Then a soldier, Full of strange oaths and bearded like the pard, Jealous in honor, sudden and quick in quarrel, Seeking the bubble reputation Even in the cannon’s mouth. And then the justice, In fair round belly with good capon lined, With eyes severe and beard of formal cut, Full of wise saws and modern instances; And so he plays his part. The sixth age shifts Into the lean and slippered pantaloon, With spectacles on nose and pouch on side;

His youthful hose, well saved, a world too wide For his shrunk shank, and his big manly voice, Turning again toward childish treble, pipes. And whistles in his sound. Last scene of all, That ends this strange eventful history, Is second childishness and mere oblivion, Sans teeth, sans eyes, sans taste, sans everything.

Menunggu Godot

Lain padang lain belalang, lain Inggris lain Irlandia, lain Shakespeare lain Beckett, lain As You Like It lain En attendant Godot, lain monolog Jacques lain dialog Didi dengan Gogo ketika menunggu kedatangan Godot yang tak kunjung datang.

Mahakarya Samuel Beckett yang ditulis dalam bahasa Perancis yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi Menunggu Godot berdasar tafsir terhadap matra waktu beda dengan Shakespeare.

Beckett mungkin kenal pemikiran Niels Bohr tentang kuantum, maka menafsirkan gerak waktu sebagai anak panah yang bukan hanya melesat ke satu arah ke masa depan, namun juga bisa ke arah masa lalu atau ke masa kapan pun sebagai waktu yang bisa berulang bahkan terus-menerus berulang seperti roda berputar.

Maka Menunggu Godot versi bahasa Inggris diberi subtitle a tragicomedy in two acts.

Kecurigaan Beckett bahwa waktu bisa berulang terbias pada Menunggu Godot yang terdiri dari dua bagian.

Adegan awal bagian ke dua ternyata mengulang adegan awal bagian pertama yang diperparah oleh sebuah kalimat pesimistis yang terus menerus diulang di dalam alur kisah mahakarya sang penerima anugerah Nobel, yaitu nothing to be done alias tidak ada yang bisa lakukan terhadap hidup sebagai panggung sandiwara yang terus menerus secara absurd tanpa henti mengulang perjalanan waktu setiap insan manusia yang dilahirkan ke dunia fana hanya untuk kemudian akhirnya meninggalkan dunia fana ini.

Makna

Semula saya sepaham Samuel Beckett bahwa hidup ini nirmakna. Namun setelah saya mempelajari apa yang dilakukan oleh para pejuang kemanusiaan seperti Ibu Terasa dan Sandyawan Sumardi, maka saya tersadar bahwa pada hakikatnya sang mahasastrawan kelahiran Dublin terperangkap di dalam das Sein sehingga kurang paham das Sollen.

Godot memang tak kunjung tiba, namun dalam kehidupan ada yang dijamin pasti tiba. Yaitu ajal.

Menunggu menjadi bermakna bagi peradaban umat manusia bukan untuk pasrah menyerah pada kenyataan, namun justru merupakan tantangan bagaimana memberi makna terhadap kehidupan selama menunggu ajal.

Makna kehidupan utamanya terletak pada bagaimana manusia termasuk memberi makna ketika menunggu saat ajal tiba.

Beda dengan Samuel Beckett yang yakin tidak ada yang bisa dilakukan, saya yakin bahwa pada hakikatnya ada yang bisa dilakukan.

Memberi makna kehidupan bukan dengan membahagiakan diri sendiri, namun membahagiakan orang lain.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com