KOMPAS.com - Pengeluaran rutin untuk hal-hal kecil yang tidak penting tanpa kita sadari justru menjadi penyebab tekornya kondisi keuangan.
Konsep ini merupakan bagian dari The Latte Factor, yang dipopulerkan oleh David Bach.
Pada dasarnya, konsep yang diangkat oleh Bach dalam teorinya cukup sederhana.
Ia menggunakan kata Latte yang diasosiasikan dengan kebiasaan orang-orang yang menghabiskan uang secara rutin untuk mengonsumsi kopi kekinian.
Menurut Bach, ini menjadi sebuah contoh pengeluaran rutin yang jika diakumulasi akan membuat pengeluaran menjadi besar.
Baca juga: Sambut 2020, Bagaimana Perencanaan Keuangan yang Baik?
Apa saja yang menjadi Latte Factor?
Melansir Business Insider, Latte Factor adalah tentang pengeluaran-pengeluaran kecil yang tidak terpikirkan setiap bulannya.
Orang-orang menghabiskan uang karena terbiasa, alasan kenyamanan, hingga alasan emosional.
Bach menyebut salah satu yang menjadi Latte Factor adalah kopi.
Ilustrasinya, jika setiap hari seorang pekerja memiliki kebiasaan membeli kopi kekinian sekitar Rp 18.000 per cup, maka dalam 24 hari kerja dia menghabiskan Rp 432.000 ribu per bulan hanya untuk membeli kopi.
Nah, inilah yang disebut Latte Factor.
Meminimalkan Latte Factor bukan berarti melarang orang minum kopi. Tetapi, pecinta kopi bisa membeli kopi bubuk dan menyeduhnya sendiri agar lebih hemat.
Dalam lamannya, Bach mengungkapkan bahwa Latte Factor bukan hanya kopi.
Latte factor bisa macam-macam, mulai dari biaya membeli air mineral kemasan, belanja cemilan, hingga biaya transfer antar bank. Setiap orang memiliki Latte Factor-nya masing-masing.
Survei yang dilakukan Bank Permata pada tahun 2017 menunjukkan sejumlah pengeluaran yang sering dilakukan dan tergolong sebagai Latte Factor.