KOMPAS.com – Presiden Joko Widodo resmi meneken peraturan presiden tentang kenaikan iuran BPJS di semua kelas yang berlaku mulai 1 Januari 2020.
Kenaikan iuran ditandatangani Presiden Jokowi pada 24 Oktober 2019, dan sudah tercantum dalam laman Setneg.go.id.
Kenaikan itu berlaku bagi Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan peserta bukan pekerja.
"Untuk meningkatkan kualitas dan kesinambungan program jaminan kesehatan perlu dilakukan penyesuaian beberapa ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan," demikian bunyi Perpres No 75 Tahun 2019 tersebut.
Baca juga: BPJS Kesehatan: Kenaikan Iuran Tak Besar Dibandingkan Manfaatnya...
Kenaikan tarif BPJS ini mendapatkan sejumlah penolakan.
Pada rapat gabungan Komisi IX dan XI DPR dengan pemerintah dan direksi BPJS Kesehatan, beberapa anggota DPR menyampaikan ketidaksetujuan.
Salah satunya Wakil Ketua Komisi XI DPR Supriyatno yang membacakan kesimpulan rapat tentang penolakan DPR.
DPR meminta pemerintah menyelesaikan permasalahan data peserta.
Pada 16 September 2019, Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf juga menyampaikan hal yang sama.
"DPR setelah berdiskusi panjang dengan pemerintah akhirnya sepakat untuk kelas III tidak naik," kata Dede Yusuf.
Dia mengatakan, iuran untuk kelas II tak dinaikkan terlebih dahulu karena 60 persen peserta BPJS merupakan masyarakat dari ekonomi bawah.
Sementara, untuk kelas I dan kelas II pihaknya menyerahkan kepada pemerintah untuk mencari solusi terbaik.
Baca juga: Jika Program BPJS Berhenti, Presiden Telah Melanggar UUD 1945
Wakil Ketua Komisi IX Nihayatul Wafiroh mengatakan, kenaikan iuran BPJS akan memancing kegaduhan masyarakat.
"Yang utama saya pikir adalah BPJS Kesehatan ini pasti masyarakat di bawah gaduh sekali dengan kenaikan ini," ujar Nihayatul, seperti diberitakan Kompas.com, Rabu (30/10/2019).
Di sisi lain, kata dia, pihak rumah sakit banyak yang mengeluh kesulitan saat mengajukan klaim BPJS Kesehatan.