Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ramai soal Toxic Positivity, Saat Ucapan Semangat Justru Jadi "Racun"

Kompas.com - 26/10/2019, 18:15 WIB
Rosiana Haryanti,
Resa Eka Ayu Sartika

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Tagar #ToxicPositivity menjadi trending di media sosial Twitter. Alasan tagar ini bergema karena banyak warganet menyoroti tentang fenomena perilaku masyarakat yang tidak berempati pada masalah orang lain.

Bahkan,tak jarang orang mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja dan membandingkan masalah orang lain dengan masalahnya sendiri.

Trending mengenai toxic positivity ini pun juga lahir dari kebiasaan masyarakat yang selalu memaksa orang lain untuk memiliki sikap yang positif tentang kehidupan setiap saat.

Baca juga: Kenali 5 Lingkungan Kerja Toxic yang Bisa Bikin Terjerumus Narkoba

Tagar #ToxicPositivity menjadi trending di media sosial TwitterTangkap layar Twitter Tagar #ToxicPositivity menjadi trending di media sosial Twitter
Namun sebenarnya, apa itu toxic positivity?

Melansir Psychology Today, ungkapan toxic positivity mengacu pada konsep bahwa seseorang hanya berfokus pada hal-hal positif namun menolak apa pun yang dapat memicu emosi negatif.

Kata-kata seperti "seharusnya kamu lebih bersyukur" atau "coba pikirkan hal-hal bahagia" ternyata tidak benar-benar bisa membantu orang yang sedang mengalami kesulitan.

Bahkan menurut psikolog Mary Hoang seperti dilansir dari laman Elle Australia, kata-kata penyemangat yang dianggap positif sering kali bisa membuat orang merasa lebih buruk.

Hal ini memang terdengar bagus, tetapi tidak semua orang dapat menerimanya, terutama mereka yang sedang membutuhkan bantuan.

Ketika seseorang menyangkal atau menghindari emosi yang tidak menyenangkan, maka dia membuat emosi negatif tersebut berubah menjadi lebih besar.

Apalagi manusia tidak dapat memprogram dirinya sendiri untuk bahagia.

Dengan menghindari emosi sulit, maka seseorang akan kehilangan informasi yang berharga. Ini karena emosi yang ada mampu memberitahu manusia mengenai gambaran tentang apa yang terjadi pada saat tertentu.

Tetapi sebaliknya, emosi tidak dapat memberi tahu seseorang untuk bereaksi atas suatu masalah.

Sebagai contoh, jika Anda takut akan anjing dan melihatnya di depan, maka itu tidak berarti Anda tidak harus melewatinya.

Perasaan tersebut berarti Anda hanya menganggap anjing merupakan ancaman potensial atau begitulah cara emosi bekerja.

Begitu seseroang mengidentifikasi emosi, dia akan memutuskan apakah akan menghindari anjing tersebut tahu menghadapi ketakutannya.

Baca juga: Jenguk Nunung, Ruben Onsu Ingin Menyemangati Tanpa Menghakimi

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com