SAYA masih terngiang dengan sebuah pernyataan kurang lebih satu bulan yang lalu.
Kira-kira seperti ini kalimatnya, "Saya pikir, bukan hanya saya yang menjadi pahlawan, karena banyak pemain lain yang juga layak menjadi pahlawan," kata Jonatan Christie kepada Badminton Europe seusai tim Indonesia menjuarai Piala Thomas untuk kali pertama sejak 2002.
"Seluruh tim juga, dari fisioterapis, dokter, pelatih, mereka semua pahlawan."
Setiap 10 November, negara yang kita cintai memperingati Hari Pahlawan.
Pengetahuan tentang peringatan Hari Pahlawan sudah menjadi ajaran sedari saya kecil atau paling tidak saat mengecap pendidikan sekolah dasar.
Mengenal dan mengenang 10 November tidak bisa lepas pada sebuah peristiwa penting dalam perjalanan bangsa kita.
Baca juga: Piala Thomas Tiba di Pelatnas Cipayung
Mengingat pada 10 November 1945 terjadi sebuah pertempuran besar justru seusai bangsa Indonesia menyatakan diri sebagai negara merdeka.
Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata pahlawan adalah "orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani."
Itu mengapa sebenarnya semua orang termasuk setiap dari kita bisa disematkan "gelar" pahlawan.
Sebut saja guru yang sering dinyatakan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, pun sosok ayah atau bunda yang menjadi pahlawan keluarga.
Saya rasa kita akan sepakat sepakat jika berbicara tentang olahraga maka seringkali kita melantangkan kata pahlawan bagi mereka khususnya para atlet yang telah berjuang mengharumkan nama bangsa.
Dunia olahraga telah berulangkali menghadirkan kebanggaan untuk Indonesia.
Mungkin secara umum, prestasi olahraga kita masih kalah dengan raksasa-raksasa olahraga dunia, tetapi itu tidak menjadikan kita nihil prestasi.
Sejumlah atlet Indonesia sejak zaman kemerdekaan hingga hari ini merupakan pejuang-pejuang yang tangguh di lapangan.
Kekuatan fisik sebagai output dari latihan yang dijalani serta ketangguhan mental saat bertarung telah menjadi modal besar dalam usaha para atlet meraih predikat terbaik.