Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Agnes Setyowati
Akademisi

Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Pakuan, Bogor, Jawa Barat. Meraih gelar doktor Ilmu Susastra dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Aktif sebagai tim redaksi Jurnal Wahana FISIB Universitas Pakuan, Ketua Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat  Bogor, dan anggota Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara). Meminati penelitian di bidang representasi identitas dan kajian budaya.

Kretek dan Seksisme Dalam Serial Gadis Kretek

Kompas.com - 20/11/2023, 09:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DALAM masyarakat patriarkal, rokok kerap identik dengan simbol maskulinitas hingga seolah-olah merokok hanya milik kaum laki-laki saja. Iklan-iklan rokok saat ini pun dibintangi laki-laki.

Di era modern ini, perempuan yang merokok kerap mendapatkan stereotip negatif dari masyarakat. Salah satunya karena konstruksi negatif perempuan perokok yang diperkuat melalui media dan budaya populer seperti film pada 1990 hingga 2000-an.

Padahal, dalam konteks perlawanan gagasan merokok banyak digunakan oleh kaum perempuan sejak Perang Dunia I sebagai simbol perlawanan, protes, dan kritik terhadap gagasan tradisional yang mengungkung kebebasan mereka sebagai manusia.

Dalam konteks lokal, sejarah industri kretek di Indonesia juga mencatat bahwa menghisap kretek tidak hanya dilakukan laki-laki, tetapi juga perempuan.

Beberapa iklan dari surat kabar dan majalah tahun 1930-an yang terbit di Jawa seperti Economy Blad, Bintang Timoer, Adil, dan Majalah Kedjawen menampilkan sosok perempuan Jawa dalam iklan rokok.

Lebih jauh dari itu, kisah rokok dan perempuan juga terekam dalam kisah Jawa klasik Babad Tanah Jawi pada masa Kerajaan Mataram melalui sosok Roro Mendut yang membuat sekaligus menjual rokok yang telah ia rekatkan dengan ludahnya dan ia hisap untuk membayar pajak kepada Tumenggung Wiraguna karena menolak dijadikan selir (National Geographic Indonesia, 19/05/2022).

Artinya, secara sosial budaya hubungan perempuan dan kretek secara evolutif terus mengalami perubahan konstruksi dari masa ke masa.

Untuk mengetahui hal tersebut, kita bisa melihatnya melalui serial Gadis Kretek yang diadaptasi dari novel Ratih Kumala.

Film yang disutradarai oleh Kamila Andini dan Ifa Isfansyah ini secara resmi tayang di Netflix sejak 2 November 2023 lalu dan sekaligus menjadi serial Indonesia orisinal pertama yang diproduksi langsung oleh Netflix.

Selama hampir dua pekan penayangan, serial Gadis Kretek berhasil menduduki posisi pertama di Indonesia dan masuk dalam daftar Top 10 Netflix series di enam negara.

Roman tragedi Gadis Kretek bercerita tentang Dasiyah atau Jeng Yah (Dian Sastrowardoyo) yang memiliki bakat dalam meracik saus kretek dan memiliki mimpi besar untuk mengembangkan usaha kretek dari hasil racikannya sendiri.

Jeng Yah adalah anak pertama dari Idroes (Rukman Rosadi), pemilik industri kretek lokal di Kota M.

Kemampuannya dalam membuat saus kretek awalnya tidak mendapat perhatian dari ayahnya karena pada masa itu (1960-an) terdapat mitos budaya yang melarang keras perempuan untuk meracik saus kretek.

Dalam kungkungan budaya patriarki yang sangat kental pada masa itu, keterlibatan perempuan dalam pembuatan kretek hanya sebatas melinting saja.

Pasalnya, jika perempuan ikut campur dalam pembuatan saus, maka dipercaya akan membuat rasa dari saus kretek menjadi asam.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com