Oleh: Desideria Cempaka Wijaya Murti, SSos, MA, PhD
PUBLIK sedang dilanda hiruk pikuk dan haru birunya sebuah acara hajatan lamaran dua anak muda pesohor.
Putri seorang diva dan pencipta lagu dilamar oleh seorang Youtuber nomor satu di Indonesia. Dari sisi popularias, follower channel Youtube mereka masing-masing sudah mencapai angka jutaan.
Jumlah yang sangat fantastis dibanding follower media sosial kita yang masih sangat tragis dan kadang suka mengemis, "Folback dong, kakak!"
Acara siaran langsung hajatan lamaran ini pun mendapat sambutan pedas dari Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP).
Setidak ada lima keberatan KNRP atas acara lamaran ini. Dua di antaranya adalah acara hajatan lamaran ini tidak mewakili kepentingan publik dan menggunakan frekuensi publik untuk kepentingan pribadi.
Saya tak hendak membahas perdebatan KNRP dan KPI ini atau membahas soal hajatan lamaran ini. Sebab, siaran langsung hajatan artis baik lamaran maupun pernikahan bukan hanya sekali ini terjadi di negara kita. Sudah berkali-kali. Tetapi, saya lebih ingin membaca zaman dan bagaimana kita menyikapinya.
Sebenarnya ada gejala apa pada bangsa ini yang membuat perputaran kehidupan kita seolah terjebak dengan kehidupan hajatan para artis ini?
Frekuensi publik kita seolah dijajah oleh siaran langsung hajatan artis atau sensasi selebritas, yang entah apa faedahnya buat kita.
Sama halnya dengan globalisasi atau kolonialisasi, selebritisasi merujuk pada gejala perubahan sosial dan budaya yang disebabkan oleh selebritas. Istilah ini dilontarkan pertama kali oleh Joshua Gamson pada 1994.
Gejala ini marak diteliti oleh peneliti dari dunia persilatan kajian budaya dan ilmu komunikasi. Gejala selebritisasi yang menjangkiti sebuah masyarakat mengindikasikan adanya perubahan struktural dalam pola kehidupan masyarakat.
Logika selebritas tampak yang menjadi mesin dalam roda gejala ini. Beberapa area kehidupan yang terjajah oleh logika selebritas kebanyakan disebabkan oleh informasi media yang overload dan sekaligus adanya perlombaan mendapatkan atensi publik.
Logika selebritas ini adalah menjadikan emosi dan dramatisasi menjadi strategi dalam mendapatkan atensi publik. Sebab, ini teknik yang paling mudah dalam komunikasi dari pada pendekatan edukatif yang kadang harus membuat orang berpikir.
Logika selebritas ini sangat mudah untuk dilengketkan dengan produk, merek, dan persona individu.
Pada akhirnya, seperti kata Paul Hewer dan Douglas Brownlie, selebritisasi selalu berujung pada tujuan marketing. Alias, ujung-ujungnya duit.