KOMPAS.com - Rangkuman penelusuran fakta dapat membantu memetakan mana informasi keliru dan bukan yang beredar di dunia maya.
Pemungutan suara yang merupakan puncak tahapan pemilihan umum (pemilu) yang semakin dekat memengaruhi sebaran hoaks politik.
Sementara itu, narasi bohong bernada kebencian soal pengungsi Rohingya beredar liar di media sosial.
Ada pula hoaks soal kesehatan dan krisis iklim.
Simak rangkuman penelusuran fakta berikut.
Pemerintah Indonesia diklaim meminta kantor Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi atau UNHCR ditutup.
Klaim tersebut muncul setelah kontroversi kedatangan pengungsi Rohingya ke Aceh akhir tahun lalu.
Penyebar informasi mengunggah video menampilkan Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana yang menyerukan agar kantor UNHCR ditutup.
Kendati demikian tidak ada informasi valid bahwa pemerintah UNHCR berhenti beroperasi di Indonesia.
Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) justru mendorong UNHCR untuk mencari jalan keluar terbaik untuk penanganan pengungsi Rohingya, dengan mengedepankan aspek kemanusiaan.
Fakta selengkapnya dapat dibaca di sini.
Perubahan iklim nyata terjadi. Namun sebuah unggahan di Facebook menyangkal fakta tersebut dengan mengaitkan perubahan iklim dengan konspirasi High-frequency Active Auroral Research Program (HAARP), Organisasi Eropa untuk Riset Nuklir (CERN), Bluebeam, dan perjanjian emisi karbon dengan Forum Ekonomi Dunia atau WEF.
Narasi penyangkalan soal perubahan iklim mengambil sumber artikel dari media bias sayap kanan Amerika Serikat (AS).
Padahal catatan geologi dari USGS dan pengamatan NASA membuktikan adanya perubahan iklim.
Mulai pemanasan global, peningkatan karbon dioksida, permukaan laut semakin tinggi, dan peningkatan bencana ekstrem.