KOMPAS.com - Nama Chairil Anwar begitu populer di ranah sastra Indonesia. Hampir semua siswa di sekolah mengenalnya karena kerap muncul di mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Salah satu karyanya berjudul "Aku", menjadi yang paling fenomenal. Berkat puisi tersebut Chairil Anwar kemudian dijuluki sebagai "Si Binatang Jalang".
Lahir di Medan pada 26 Juli 1922, Chairil tumbuh dengan minat di bidang sastra. Sejak umur belasan tahun ia sudah menulis puisi.
Kemudian, menginjak usia 18 tahun tekadnya untuk menjadi seniman maupun penyair semakin bulat, bahkan ia memutuskan untuk berhenti sekolah.
Meski putus sekolah, namun Chairil banyak membaca dan belajar secara mandiri, terutama terkait beberapa puisi asing yang akhirnya mempengaruh karya-karyanya.
Ia banyak belajar dari beberapa karya pujangga pemberontak sekaligus filsuf yang ia kagumi, Friedrich Nietzsche.
Di masa pendudukan Jepang, Chairil juga belajar dengan menyalin karangan-karangan Rilke, Marsman, Du Peron, Slauerhoff.
Puisi Chairil berjudul "Nisan" yang pertama kali dimuat di majalah pada 1942 menjadi awal perjalannya menjadi seorang penyair.
Ia cukup aktif mengirimkan karya puisinya di sejumlah majalah, meskipun tidak jarang mendapat penolakan untuk terbit.
Penolakan terhadap puisi Chairil tidak lepas dari anggapan bahwa karyanya terlalu individualistis dan hanya mewakili perasaannya sendiri.
Pada periode itu, ia pun banyak bertukar pikiran dengan sejumlah penulis lain dan mendirikan majalah Gema Gelanggang.
Menurut harian Kompas edisi 25 April 1995, JS Badudu yang merupakan seorang pakar bahasa Indonesia mengatakan, pada mulanya Chairil dianggap perombak, pemberontak, malah sampai- sampai dikatakan gila oleh orang-orang yang masih berpegang pada dasar-dasar ketentuan lama.
Akan tetapi, Chairil orang yang berjiwa besar, yang pantang mundur karena ejekan dan hinaan.
Ada juga yang mengatakan, tak ada keindahan dalam sajak-sajaknya, tak ada rima. Namun, bagi Guru Besar Linguistika Universitas Padjadjaran tersebut, anggapan itu tidak benar.
Sajak Chairil sangat kuat dilihat dari segi pengungkapan perasaannya, rimanya adalah rima bebas bukan rima pantun yang teratur di ujung tiap larik.