KOMPAS.com - Calon presiden (capres) nomor urut 2, Prabowo Subianto mengatakan, Indonesia tidak akan mengalami masalah jika memiliki utang luar negeri mencapai 50 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB).
Hal tersebut disampaikan Prabowo dalam debat ketiga capres-cawapres untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 yang diselenggarakan di Istora Senayan, Jakarta pada Minggu (7/1/2024).
"Yang penting utang itu produktif, itu saya setuju. Tapi kita bisa (utang luar negeri) sampai 50 persen, enggak ada masalah. Kita tidak pernah default. Kita dihormati di dunia," katanya.
Sementara itu, capres nomor urut 1 Anies Baswedan memiliki pendapat lain. Menurutnya, Indonesia harus bisa mencapai utang luar negeri maksimal 30 persen dari PDB agar aman.
"Menurut hemat kami, kita harus bisa mencapai maksimal angka 30 persen dari GDP (gross domestic product), sehingga kita aman di bawah 30 persen," ujar Anies.
Sebagai catatan, diberitakan Kompas.com (7/1/2024), Indonesia memiliki utang luar negeri sebesar 29,1 persen dari PDB hingga Agustus 2023.
Lantas, benarkah utang hingga 50 persen dari PDB masih bisa dikatakan aman?
Baca juga: Melihat Gagasan Anies, Prabowo, dan Ganjar soal Keamanan Siber di Indonesia...
Ekonom sekaligus Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan, batas rasio utang luar negeri adalah maksimal sebesar 60 persen dari PDB.
"Regulasi dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, memang memberi batas rasio utang maksimum 60 persen dari PDB," ujarnya kepada Kompas.com, Senin (8/1/2024).
Bhima menjelaskan, batas rasio utang 60 persen itu ditetapkan pascakrisis 1998. Regulasi ini diadopsi dari aturan disiplin fiskal dalam Perjanjian Maastricht di Uni Eropa.
Meski demikian, banyak negara Eropa meragukan dasar dari rasio utang tersebut. Sebab, negara yang memiliki utang di bawah 60 persen dari PDB tetap bisa mengalami krisis.
"Jadi di Eropa sendiri, rule of thumb 60 persen mulai banyak digugat oleh para ekonom dan pengambil kebijakan," tambahnya.
Terkait kondisi dalam negeri, Bhima pun turut tidak membenarkan jika Indonesia memiliki utang luar negeri mendekati 60 persen dari PDB.
"Bukan berarti pemerintah bisa mendorong agar rasio utang mendekati batas yang dibolehkan undang-undang," tegas dia.
Baca juga: Utang Indonesia Hampir Rp 8.000 Triliun, Kemenkeu Ungkap Penyebabnya
Menurutnya, perekonomian negara tidak akan sehat ketika harus membayar utang luar negeri beserta bunganya setiap tahun.
"Kalau dengan rasio utang saat ini saja bunga utang nyaris Rp 500 triliun, tahun ini maka porsinya (utang) terhadap belanja sosial kan sudah lebih dari 100 persen. Itu tidak sehat," tegas dia.
Bhima menyebutkan, utang luar negeri yang besar akan meningkatkan beban bunga yang harus dibayarkan.
Selain itu, besarnya utang negara juga akan menyempitkan ruang fiskal atau mengurangi pendapatan yang mendanai program negara.
Baca juga: Drama Debat Ketiga Pilpres 2024: Ganjar Sebut Prabowo Tak Siap Debat, Prabowo-Anies Tak Salaman
Utang tinggi, jelas dia, bisa menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia, sehingga sulit mencapai tujuh persen setiap tahun.
Ia menjelaskan, pertumbuhan ekonomi tujuh persen dibutuhkan untuk mewujudkan keinginan Indonesia mencapai target menjadi negara maju pada 2045.
"(Akibatnya) pajak rakyat akan tersedot hanya untuk bayar bunga utang," tambah dia.
Terkait pandangan Prabowo bahwa tidak masalah punya untang luar negeri sampai 50 persen, Bhima menyarankan agar capres nomor urut 2 itu untuk berhati-hati.
"Saya kira tim ekonominya Prabowo perlu mengingatkan risiko utang dalam konteks keberlanjutan APBN," tegasnya.
Menurutnya, program makan siang gratis, susu gratis, dan program lain yang direncanakan Prabowo akan banyak mengandalkan pembiayaan utang.
"Maka, presiden ke depan harus hati-hati soal penambahan utang, bukan bersemangat menambah utang baru," kata Bhima.
Baca juga: 5 Negara yang Miliki Utang Terbanyak ke China, Adakah Indonesia?
Bhima menambahkan, Indonesia bisa memiliki rasio utang luar negeri maksimal 30 persen, jika mencapai rasio pajak 16 persen dari PDB.
Untuk mencapai ini, dia menyarankan Indonesia untuk memangkas biaya belanja negara di bidang tertentu, dan mengurangi nomenklatur kementerian dan lembaga.
Dia juga mendorong pemerintah untuk mengatasi korupsi dan mengaplikasikan perampasan aset koruptor.
"Kemudian, dorong negosiasi utang dengan para kreditor. Misalnya, debt cancellation sampai debt swap for nature," jelasnya.
Meski demikian, Bhima tidak memungkiri bahwa kondisi Indonesia sulit untuk memenuhi rencana tersebut.
Pasalnya, jumlah utang luar negeri Indonesia beserta bunganya bisa mencapai 1.000 triliun hingga 2024.
"Itu tidak bisa ditutup lewat APBN harus tambah utang baru lagi," tambah dia.
Untuk itu, dia berharap agar pemerintah menekan anggaran belanja pegawai dan memangkas belanja barang yang tidak perlu, serta mendorong perluasan basis pajak terutama pajak orang kaya.
Baca juga: Ditanya soal Kinerja Kemenhan di Bawah Prabowo, Ganjar Beri Nilai 5, Anies 11 dari 100
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.