Jenis manusia ini memiliki otak seukuran jeruk dengan tinggi rata-rata sekitar 1,5 meter.
Dengan jari tangan dan kaki melengkung, serta tangan dan kaki yang mampu menggunakan alat untuk berjalan, kerangka Homo naledi pertama kali ditemukan pada 2013 oleh Lee Berger.
Penemuan salah satu manusia purba ini membantu membalikkan anggapan bahwa jalur evolusi manusia berupa garis lurus.
Nama spesies ini sendiri diambil dari sistem gua "Rising Star", tempat tulang pertamanya ditemukan sekitar sepuluh tahun lalu.
Lubang-lubang makam hasil temuan para peneliti, menurut bukti-bukti yang ada, sengaja digali dan diisi untuk menutupi mayat-mayat Homo naledi.
Setidaknya, para peneliti mengatakan, terdapat sekitar lima individu yang terkubur di lubang galian tersebut.
"Penemuan ini menunjukkan bahwa praktik kamar mayat tidak terbatas pada Homo sapiens atau hominid lain dengan ukuran otak besar," kata para peneliti.
Namun, situs pemakaman ini bukan satu-satunya tanda Homo naledi mampu berperilaku emosional dan memiliki kognitif yang kompleks.
Baca juga: Sempat Dikira Punah, Hewan Purba Ini Kembali Ditemukan di Papua
Ukiran berbentuk geometris, termasuk gambar menyerupai tagar turut ditemukan pada permukaan pilar gua di dekat makam yang tampaknya sengaja dihaluskan.
"Itu berarti manusia bukan hanya tidak unik dalam mengembangkan praktik simbolik, tapi mungkin juga tidak menemukan perilaku seperti itu," kata Berger dalam sebuah wawancara.
Pada 2015, banyak yang menolak keras gagasan Berger yang mengutarakan bahwa Homo naledi mampu melakukan lebih dari "ukuran kepalanya".
"Itu terlalu banyak bagi para ilmuwan untuk berpikir pada saat itu. Kami pikir semuanya ada hubungannya dengan otak besar ini," kata Berger.
"Kami akan memberitahu dunia bahwa itu tidak benar," lanjutnya.
Meski masih memerlukan analisis lebih lanjut, penemuan ini dinilai mengubah pemahaman peneliti tentang evolusi manusia.
"Penguburan, pembuatan makna, bahkan 'seni' bisa memiliki sejarah yang jauh lebih rumit, dinamis, dan non-manusia dibandingkan yang kita duga sebelumnya," ujar profesor antropologi di Universitas Princeton, Amerika, Agustin Fuentes.
Di sisi lain, antropolog dari Universitas Missouri, Amerika, Carol Ward yang tidak terlibat dalam penelitian mengatakan, jika terkonfirmasi, temuan ini akan memiliki potensi yang sangat penting.
"Saya berharap dapat mempelajari bagaimana disposisi jenazah menghalangi kemungkinan penjelasan selain penguburan yang disengaja, dan melihat hasilnya setelah diperiksa melalui tinjauan sejawat," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.