Saat itu terjadi lelucon tentang tumpahan merkuri palsu yang di-posting ke papan pesan online, dan membuat universitas saat itu menjadi riuh.
Karena kekacauan ini, Dr. Scott E. Fahlman, menyarankan agar lelucon dan bukan lelucon ditandai oleh dua set karakter yang sekarang kita kenali sebagai emoticon standar, yaitu wajah tersenyum :-) dan wajah cemberut :-(. Setelah itu, emoticon menjadi populer di kalangan pengguna Internet.
Kesimpulannhya, secara sederhana bahwa simbol wajah tersenyum berisi karakter yang ditemukan di keyboard komputer itu adalah emoticon. Sedangkan gambar kartun kecil yang tidak dibatasi tanda baca, angka, dan huruf, itulah emoji.
Dalam laporan survei Pumble, dinyatakan bahwa kemampuan memantau kondisi kenyamanan emosional tim jarak jauh melalui emoji, dapat membantu mencegah kelelahan karyawan. Hal ini tentu menunjukan keuntungan dan manfaat emoji.
Dijelaskan juga bahwa menurut penelitian yang dilakukan di University of Michigan, para pemimpin dapat menggunakan emoji sebagai representasi perasaan karyawannya.
Oleh karena itu, simbol-simbol ini dapat digunakan untuk mengukur “temperatur emosi” secara kolektif dengan lebih efektif, dibanding panggilan video.
Melacak kondisi mental pekerja jarak jauh dengan cara emoji dapat mengurangi stres, yang pada gilirannya akan menghasilkan lingkungan kerja lebih positif.
Namun demikian, analisis survei Pumble juga menunjukan ada kelemahan penggunaan emoji. Meskipun belum banyak diteliti dibandingkan kelebihannya.
Referensi laporan agak lama dari Adobe tahun 2019, tetapi masih dianggap relevan, menunjukkan beberapa kelemahan umum penggunaan emoji, yang mungkin dialami di tempat kerja.
Dari 1.000 responden survei Adobe, 60 persen mengatakan emoji dapat dibaca sebagai sesuatu yang impersonal dan umum. Sementara 59 persen mengaku telah dikirimi emoji yang tidak sesuai dengan emosi yang ingin disampaikan oleh pengirim.
Selanjutnya yang istimewa adalah ada 57 persen responden menganggap emoji bisa terlihat tidak tulus. Selanjutnya 56 persen responden percaya emoji bisa lebih inklusif, dan 53 persen telah mengirimkan emoji yang disalahartikan atau dimanfaatkan orang lain di luar konteks.
Hal yang menarik juga ada 35 persen responden menyatakan telah mengirim emoji yang kemudian mereka sesali karena telah mengirimkannya. Saya kira mungkin banyak di antara kita yang pernah termasuk ke dalam kriteria 35 persen ini.
Hal ini bisa terjadi karena salah menafsirkan situasi, salah membaca makna ekspresi lawan perpesanan, adanya komentar lain dari anggota grup yang membuat tafsir makna melenceng, atau karena kesalahan kita memilih emoji, mungkin karena tidak cukup memahami arti dari pembuatnya.
Kesimpulannya, meskipun emoji menawarkan banyak manfaat, survei ini mengingatkan agar kita lebih berhati-hati saat menggunakan emoji. Hal ini tidak lain untuk menghindari kesalahpahaman.
Oleh karena itu mari gunakan emoji untuk ekosistem digital penuh sukacita, suasana kerja yang lebih baik, tanpa memicu kegaduhan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.