Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jaya Suprana
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

"The King" Mendramatisasi Sejarah

Kompas.com - 22/06/2023, 16:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MUNGKIN film yang paling berniat bagus sekaligus juga paling banyak keliru dalam mendramatisasi sejarah adalah film ”The King” yang disutradarai David Michod dan diproduksi oleh Brad Pitt dan kawan-kawan pada 2019.

“The King” berkisah tentang Raja Henry V dengan pengakuan bahwa skenario dibuat berdasar sejarah kerajaan Inggris sekaligus serial lakon Henry mahakarya William Shakespeare.

Berdasar kajian Pusat Studi Kelirumologi ditemukan banyak kekeliruan di dalam film yang memperoleh banyak pujian dari para kritikus film, namun dicela oleh para sejarawan akibat ahistorikal dramatisasi yang terlalu jauh melenceng dari fakta sejarah.

Keberpihakan berlebih ke Inggris menyebabkan “The King” di satu sisi dianggap terlalu British-sentris sementara di sisi lain dianggap ekstrem Frankofobia.

Adegan puncak “The King” terkulminasi pada pertempuran Agincourt di Perancis pada 25 Oktober 1415, yang menurut direktur Museum Agincourt masa kini, Christopher Gilliot dikisahkan secara tidak sesuai kenyataan.

Misalnya, medan pertempuran Agincourt pada “The King” ditampilkan sebagai padang yang hijau royo-royo bak lapangan golf. Padahal sebenarnya dataran rendah nan gersang.

Bahkan saya yang awam sejarah juga bingung mengenai bagaimana di dalam film produksi Brad Pitt itu bisa tampil seorang tokoh bernama Falstaff yang setahu saya adalah tokoh fiktif hasil khayalan Shakespeare yang sama sekali tidak eksis pada realita sejarah Inggris apalagi Perancis.

Bahkan Sir John Falstaff ditampilkan sebagai pahlawan (setara Gatotkaca pada Bharatayuda) yang ikhlas mengorbankan diri sebagai martir demi memenangkan laskar Inggris di pertempuran Agincourt.

Adalah Falstaff yang diperankan Joel Edgerton yang memang mirip Orson Welles yang menasehati Henry V untuk memanfaatkan medan perang Agincourt yang berlumpur akibat hujan deras sebagai perangkap terhadap pasukan berkuda Perancis dengan para serdadu berpakaian logam berat.

Padahal pada kenyataan sejarah sebenarnya kavaleri Perancis dilumpuhkan dengan tombak-tombak panjang serta panah-panah jarak jauh Inggris.

Akibat fiktif maka Falstaff tidak pernah hadir pada pertempuran Agincourt maupun di mana pun juga.

Putra mahkota Perancis, Louis de Guyenne di dalam “The King” diperankan oleh Robert Pattinson sebagai tokoh arogan, sinis dan brutal kemudian mati konyol dikeroyok serdadu Inggris pada pertempuran Agincourt sebenarnya tidak pernah ikut terlibat apalagi memimpin tentara Perancis pada pertempuran Agincourt.

Pada kenyataan, sebenarnya Louis de Guyenne wafat dua bulan setelah pertempuran Agincourt akibat sakit keras sebab memang sakit-sakitan.

Para sejarawan juga mengecam busana termasuk busana militer yang digunakan serdadu Inggris dan Perancis dalam “The King” yang digarap pada abad XXI sebagai sama sekali tidak sesuai dengan realita busana abad XV.

Henry V yang diperankan Timothée Chalamet pada “The King” ditampilkan sebagai tokoh humanis dan cinta damai.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com