Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jaya Suprana
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Kuantitas Bukan Kualitas

Kompas.com - 06/01/2023, 05:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEBENARNYA sudah disepakati bahwa apa yang disebut sebagai kuantitas dan kualitas merupakan dua hal yang tidak sama alias saling beda satu dengan lainnya.

Namun di era internet, kuantitas dianggap ideal untuk mengukur kualitas berdasar asumsi kualitas memang bisa diukur.

Kualitas sesuatu diukur dengan berapa jumlah “follower” berkenan “subscribe” obyek yang digiatkan oleh para pegiat media sosial.

Metode serupa sebenarnya sudah digunakan pada masa televisi masih berjaya menguasai peradaban manusia dengan sistem “rating” berdasar jumlah pemirsa yang memirsa acara hiburan atau berita televisi, padahal belum tentu semua yang terdeteksi itu benar-benar menonton produk hiburan atau berita yang diukur.

Pada prinsipnya apa yang disebut sebagai presidential threshold yang membakukan prosentasi minimal yang harus dipenuhi oleh seorang calon presiden juga merupakan upaya membatasi kualitas dengan menggunakan kaidah kuantitas.

Kuantitas harga juga menentukan kualitas produk, bukan sebaliknya. Para produsen produk bermerek cerdik memanfaatkan pemberhalaan kuantitas harga mahal sebagai penentu kualitas gengsi konsumen.

Makin mahal harga produk yang dibeli konsumen makin bergengsi sang konsumen tanpa peduli realita mutu produk yang dibeli.

Maka produk tas bikinan pengrajin tas Tasikmalaya langsung harganya berlipat ganda makin mahal akibat ditempeli merek asing sehingga langsung melangitkan kualitas gengsi pembelinya.

Kolektor lukisan berebut memburu lukisan yang harganya mahal hasil rekayasa “gorengan” tanpa perlu melihat mutu sang lukisannya sendiri. Pokoknya makin mahal makin “indah”.

Ada pula sayembara musik atau tari atau lawak yang pemenangnya ditentukan oleh jumlah penonton menelepon ke pesawat telepon TV penyelenggara sayembara.

Saya masih ingat bagaimana teman-teman yang anaknya atau keluarganya bahkan dirinya sendiri ikut lomba menyanyi di TV berulang kali menelepon demi meminta sambil agak memaksa saya menelepon nomor telpon TV penyelenggara lomba sebagai “voting” demi menjadikan anaknya atau keluarganya atau dirinya sendiri juara lomba nyanyi tanpa peduli kualitas.

Akibat sadar kualitas tidak bisa diukur, maka Museum Rekor Dunia Indonesia hanya berani menggunakan kuantitas sebagai kaidah untuk memberikan anugerah penghargaan.

Maka MURI tidak berani menganugerahkan penghargaan terhadap perempuan paling cantik, lelaki paling ganteng, manusia paling bijak, atau hidungan paling lezat.

Segenap fakta itu merupakan bukti bahwa budaya voting dari panggung industri politik memang sudah merambah masuk ke wilayah panggung industri hiburan.

Voting yang berasal dari mashab demokrasi di ranah industri politik terbukti juga berjaya ikut berperan keren di ranah industri hiburan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com