HUKUM Amerika Serikat (AS) ternyata sangat keras terhadap pelanggar data pribadi, dan dilakukan tanpa pandang bulu.
Twitter sebagai salah satu platform raksasa global juga dihukum membayar denda spektakuler sejumlah 150 juta dollar AS, karena melanggar komitmen berupa janji privasinya (Lesley Fair 25/5/2022 Twitter to Pay $150 million Penalty for Allegadly Breaking Its Privacy Promises-Again).
Dalam laporan itu dinyatakan, korporasi digital global ini pada awalnya memberi tahu pelanggannya bahwa mereka akan menggunakan informasi pribadi untuk satu tujuan, tetapi kemudian menggunakannya untuk tujuan yang lain lagi.
Twitter meminta pengguna untuk memberikan informasi pribadi dengan tujuan mengamankan akun mereka, tetapi kemudian juga menggunakannya untuk menayangkan iklan bertarget untuk keuntungan finansial Twitter.
Twitter akhirnya setuju untuk membayar denda 150 juta dollar AS, memberi tahu pengguna tentang dugaan penyelewengan, dan menerapkan serta melaporkan sistem baru untuk memastikan pelindungan informasi konsumen (Oscar Shine Selendy Gay Elsberg PLLC & Denae Kassotis, Twitter, FTC Battle Puts Advertisers on Alert About Privacy, Bloomberg Law, 12/7/2022)
Kasus ini bukan pelanggaran pertama Twitter terhadap regulasi. Hukuman yang terakhir ini, sebagai tindak lanjut yang diajukan oleh Departemen Kehakiman AS (US DOJ), atas nama FTC.
Tuduhannya adalah, Twitter melanggar perintah dalam kasus sebelumnya, dengan mengumpulkan informasi pribadi pelanggan, yang sebelumnya dinyatakan untuk tujuan keamanan, dan kemudian mengeksploitasinya untuk kepentingan komersial.
Menurut US DOJ, Twitter menyatakan kepada pengguna mereka, bahwa nomor telepon dan alamat email pelanggan, semata-mata diperuntukan bagi kepentingan pengamanan akun mereka.
Tetapi yang terjadi kemudian, Twitter menggunakan informasi tersebut untuk iklan bertarget, dengan mencocokkan daftar data pengguna Twitter dengan daftar pengiklan yang ada.
DOJ menuduh bahwa perilaku Twitter baru-baru ini melanggar FTCA dan Perintah Komisi 2011, di mana FTC secara khusus melarang Twitter membuat pernyataan yang keliru terkait keamanan "informasi konsumen nonpublik".
Namun demikian seperti dilansir Reuteurs, 15 Desember 2022, dalam reportasenya, Komisi Perdagangan Federal AS (FTC) sebagai penegak hukum dalam kasus ini, sesuai update terakhir, telah menghubungi Twitter untuk menanyakan apakah perusahaan masih memiliki sumber daya untuk mematuhi keputusan persetujuan privasi tersebut.
Rupanya pergolakan dan PHK massal di Twitter sejak diambil alih oleh Elon Musk telah memicu kekhawatiran bahwa raksasa media sosial itu kemungkinan gagal mematuhi penyelesaian yang telah diputus Mei 2022, dengan regulator AS, di mana perusahaan setuju untuk meningkatkan praktik privasinya, yang terjadi sebelum pengambilalihan.
FTC mengatakan bahwa pihaknya “melacak perkembangan terbaru di Twitter dengan keprihatinan mendalam. FTC menyatakan tidak ada CEO atau perusahaan yang kebal hukum, dan perusahaan harus mengikuti keputusan persetujuan kami,” katanya saat itu.
Seperti telah dikemukakan, pada Mei 2022, Twitter setuju untuk membayar 150 juta dollar AS dan menindaklanjuti fitur potensial untuk masalah privasi dan keamanan data.
Sekadar kilas balik, berdasarkan referensi di atas, lebih dari 140 juta pengguna memberikan alamat email atau nomor telepon mereka kepada Twitter untuk tujuan keamanan.