Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhardis
PNS

Saat ini bekerja sebagai periset di Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas, BRIN

Bahasa "Asing" di Negara Sendiri

Kompas.com - 20/12/2022, 08:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Begitulah sedikit ilustrasi saat kegiatan ilmiah berlangsung. Bagi mereka yang belum mendapatkan sosialisasi kata-kata bahasa Indonesia semacam salindia, tetikus, pelantang, dan peramban, tentunya akan merasa “asing” dan berupaya mencari maknanya di kamus.

Bukankah hal tersebut sama susahnya saat dihadapkan dengan penggunaan kata berbahasa Asing?

Kalau memang belum familiar, untuk apa dipakai? Ini berlaku untuk bahasa Asing maupun bahasa Indonesia.

Jika kita mau mengalah, ada hal baik yang muncul jika kedua pihak dimenangkan dalam kasus penggunaan bahasa Indonesia maupun bahasa Asing di Indonesia.

Pertama, saat dibiasakan bahasa Asing dan bahasa Indonesia yang masih “asing”, orang-orang yang membaca (mendengar, jika dikaitkan dalam situasi lisan) sedikit banyaknya akan berusaha mencari tahu apa yang diacu oleh kata-kata tersebut. Tentunya hal ini secara tidak langsung akan memperkaya kosa kata mereka, bukan?

Bukankah Thorndike (Schunk, 2012) menyatakan bahwa langkah awal dalam pembelajaran itu ialah pembiasaan? Sesuatu menjadi bisa karena terbiasa.

Biasakan penggunaan bahasa Asing yang disertai padanan dalam bahasa Indonesia, tentu tidak akan menjadi permasalahan. Sesuaikan dengan konteks lokasi.

Saat berada di bandara maupun pelabuhan, kata bahasa Asing dapat ditulis lebih besar ukurannya dibanding padanan kata bahasa Indonesia-nya. Begitu juga saat kata-kata berbahasa Asing digunakan di lokasi-lokasi wisata.

Sasarannya orang-orang asing yang datang berkunjung. Hal tersebut akan memudahkan mereka mendapatkan informasi.

Berbeda halnya saat digunakan di kantor-kantor pemerintahan maupun sekolah. Kata berbahasa Asing tersebut ditulis lebih kecil ukurannya dibanding kata bahasa Indonesia.

Intinya, di mana pun kata-kata tersebut dipakai, sandingkan mereka, sesuaikan ukuran hurufnya. Tidak menjadi masalah bukan?

Bahasa Indonesia tetap diutamakan, bahasa Asing pun terkuasai.

Lalu, bagaimana dengan bahasa Indonesia yang masih “asing” tersebut? Perlu sosialisasi ekstra. Hambatan terbesarnya ialah “rasa bahasa”.

Berkaitan dengan rasa bahasa, orang Indonesia sepertinya sudah pintar dalam pemilihan kata.
Tidak pernah kita mendengar percakapan di kantor-kantor maupun sekolah-sekolah di Indonesia yang menggunakan kata berbahasa asing “delay(ed)” saat mengacu pada percakapan, “Anda sudah tiga hari delay(ed) ke kantor (Kompasiana.com, 28/1/19).

Rasanya aneh. Akan terasa pas maknanya saat kata berbahasa Asing tersebut muncul dalam konteks penerbangan atau situasi ilmiah lainnya.

Begitupula dengan bahasa Indonesia seperti tetikus, salindia, peramban, unduh, unggah, dan sebagainya. Jika masyarakat merasakan kata-kata tersebut cocok “rasanya”, mereka akan menggunakan dengan sendirinya.

Jadi, tidak usah takut bahasa Indonesia menjadi asing di rumahnya sendiri dikarenakan fenomena tren berbahasa Asing, baik lisan, lebih-lebih tulisan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com