Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jaya Suprana
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Belajar dari Tlachihualtepetl

Kompas.com - 13/12/2022, 09:59 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

(Mumpung ada waktu luang sebelum babak Semi Final Piala Dunia 2022, maka saya berkesempatan menulis naskah bukan terkait Piala Dunia, namun masih ada kaitan dengan satu di antara peserta babak awal sampai dengan babak 16 besar Piala Dunia 2022, yaitu Meksiko)

SAYA sama sekali bukan arkeolog, apalagi ilmuwan arkeologi. Saya hanya seorang insan rakyat jelata yang awam, namun tulus mengagumi situs-situs arkeologi demi berikhtiar menghayati hikmah anugerah keadiluruhan warisan peradaban umat manusia di planet bumi.

Semesta arkeologi tidak pernah sepi dari perdebatan karena sama dengan sejarah memang arkeologi tidak bisa lepas dari tafsir, padahal sifat tafsir an sich di samping subyektif juga senantiasa rawan keliru seperti terbukti pada gejala distorsi akibat tafsir berdasar penglihatan, pendengaran, dan perasaan.

Contoh bahan perdebatan arkeologis berkelanjutan adalah Tlachihualtepetl (semoga saya tidak keliru menulis nama super sulit memelintir lidah ini) yang juga dikenal sebagai Piramida Akbar Cholula di kawasan Puebla, Meksiko sekitar 125 kilometer dari Ibu kota Meksiko, Ciudad de Mexico.

Di masa kini kawasan Tlachihualtepetl hadir sebagai sebuah kawasan berbentuk bukit yang masih diperdebatkan, apakah buatan manusia atau bukan.

Namun kini di puncak bukit hadir katedral Nuestra Senora de los Remedios yang pasti didirikan oleh manusia dengan gaya barok serta memperpadukan intisari kearifan agama Katolik dengan agama lokal.

Sementara ini, Piramida Akbar Cholula secara kuantitas sudah disepakati sebagai piramida bukan tertinggi, tetapi terbesar di dunia.

Namun akurasi usia Piramida Akbar Cholula masih sengit diperdebatkan akibat diduga dibangun secara bertahap dalam jangka kurun waktu bukan puluhan, namun ratusan, bahkan bukan mustahil ribuan jika tidak puluhan ribu tahun.

Bahkan ada yang menduga Tlachihuatepetl dibangun oleh masyarakat setempat setelah kiamat Zaman Es menenggelamkan peradaban yang dibangun sebelum kiamat Zaman Es.

Suatu spekulasi hipotesa arkeologis yang sulit dibuktikan kebenarannya, namun sekaligus juga ketidakbenarannya. Namanya juga spekulasi hipotetis beraroma semerbak kearifan Jawa: yak-e.

Maka hipotesa arkeologis layak dikategorikan ke kelompok yang disebut sebagai kuantum sejarah.

Sementara yang tidak sependapat langsung menyemoohnya sebagai pseudo science alias sains gadungan, padahal kesemuanya sama-sama bersifat spekulatif.

Bentuk eksternal piramidal Piramida Akbar Cholula juga beda dengan piramida Mesir kuno sebab lebih mirip bentuk punden berundak Ziggurat Ur di Irak.

Sementara ini para arkeolog berbagai kubu mazhab sudah mau maka mampu sepakat bahwa Tlachihuatepetl dibangun secara bertahap analog konsep boneka Rusia atau telur Faberge di mana di dalam boneka dan telur masih ada boneka dan telur dan seterusnya dan selanjutnya.

Terlepas dari kemelut perdebatan berkelanjutan antar para arkeolog yang masing-masing gigih bertahan pada keimanan saintifik masing-masing, fakta membuktikan secara tak terbantahkan bahwa Tlachihuatepetl sebagai bagian dari kawasan Cholula telah resmi pada tahun 1987 dinobatkan sebagai situs warisan kebudayaan dunia oleh UNESCO.

Sebagai warga Indonesia yang bangga Indonesia, saya yakin Gunung Padang tidak kalah bermakna sebagai warisan kebudayaan dunia ketimbang Tlachihuatepetl atau Ziggurat Ur atau Hegra Mada In Salih atau Goebekli Tepe atau situs arkeologis mana pun di mana pun juga.

Maka besar harapan saya bahwa para arkeolog beserta para pewenang arkeologi Indonesia berkenan sepakat menyingkirkan segenap perbedaan keyakinan demi bersatu padu bergotong royong bersama dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika mengajukan kawasan Gunung Padang untuk resmi diakui oleh UNESCO sebagai warisan kebudayaan dunia. MERDEKA!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com