KEMENTERIAN Luar Negeri (Kemenlu) Republik Indonesia (RI) melansir data bahwa kasus perlindungan warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri cenderung meningkat. Kasus perlindungan terhadap WNI pada 2022 ini jumlahnya sudah melebihi kasus sepanjang tahun 2019, sebelum terjadi pandemi Covid-19.
Kemenlu merinci, kasus-kasus yang tercatat pada 2022 antara lain terkait Covid-19, terkait dengan anak buah (ABK), dan tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Ada juga kasus WNI yang menetap di luar negeri tanpa memiliki dokumen, kasus haji dan umroh, evakuasi WNI di luar negeri, pembebasan sandera, dan WNI yang terancam hukuman mati.
Dari data di atas, kasus-kasus perlindungan terhadap kasus WNI yang berkaitan dengan Pekerja Migran Indonesia (PMI) adalah kasus TPPO, kasus ABK, dan irisan kasus WNI tanpa dokumen.
Baca juga: Gerebek Asrama Pekerja Migran Ilegal, BP2MI Temukan 161 Orang Dijanjikan Bekerja di Arab Saudi
Jika kita melakukan cek silang data, Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) pada 2021 menyebutkan bahwa Indonesia menjadi salah satu negara asal utama perdagangan orang.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) melansir, pada tahun 2019 hingga 2021, tercatat 1.331 orang menjadi korban TPPO. Dari jumlah itu, 97 persen atau sekitar 1.291 korban adalah perempuan dan anak.
Teranyar, pada akhir September 2022 dilakukan penangkapan terkait kasus TPPO terhadap 161 orang calon PMI nonprosedural untuk tujuan Arab Saudi. Semua korban perempuan.
Tingginya kasus perlindungan WNI, termasuk PMI di dalamnya, tentu bukan hal yang bisa dibanggakan. Semakin tinggi kasus perlindungan terhadap WNI bermakna semakin rentan WNI kita di luar negeri. Semakin kecil kasus perlindungan yang dilaporkan, bermakna semakin sedikit kasus yang menimpa WNI, termasuk PMI kita.
Salah satu titik rawan PMI di luar negeri adalah ketika mereka berangkat dengan skema nonprosedural. Saat berangkat melalui jalur nonprosedural, tentu daya tawar dan perlindungan PMI di negara tujuan sangat lemah. Kemungkinan mereka menjadi korban tindak kejahatan termasuk TPPO pun besar.
Karena itu, menekan angka keberangkatan PMI nonprosedural menjadi kunci dari maksimalnya perlindungan PMI yang terjadi di ujung. Kita perlu melihat beberapa alasan calon PMI lebih memilih jalur nonprosedural dan menawarkan solusi dengan melihat persoalan per alasan.
Faktor pertama adalah masih maraknya calo PMI nonprosedural yang mencari calon korban hingga daerah-daerah.
Pada kasus penggerebekan terhadap 161 calon PMI nonprosedural pada September lalu, diketahui banyak calo berkeliling ke kampung untuk menawarkan bekerja di Arab Saudi, bahkan dengan memberikan uang modal sebesar RP 10 juta diawal.
Keberanian para calo mengeluarkan modal besar itu mengindikasikan perputaran ekonomi dari kasus TPPO sangatlah besar.
Indikasi adanya sindikat dan mafia dalam mencari korban juga sangat kuat. Pada kasus pengirimin PMI nonprosedural ke Kamboja, didapatkan fakta penempatan telah dilakukan beberapa kali. Karena itu, tidak ada kata lain selain menggandeng aparat penegak hukum guna memberantas sindikat dan jaringan TPPO di Indonesia.
Baca juga: Saatnya Pekerja Migran Indonesia Berdaya Saing Global
Seperti halnya jaringan judi online yang tengah jadi perhatian aparat kepolisian, sindikat kasus TPPO juga mesti diusut. Terlebih untuk kasus TPPO telah dibuat gugus tugas yang terdiri dari lintas sektor, termasuk aparat penegak hukum. Itu artinya, penindakan kasus TPPO sejatinya adalah kasus prioritas.
Faktor kedua adalah terkait biaya. Bekerja di luar negeri dengan jalur nonprosedural dinilai memakan biaya lebih murah dibandingkan dengan jalur prosedural.