Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jaya Suprana
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Goethe dan Islam

Kompas.com - 22/09/2022, 05:42 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DI TAMAN Beethovenplatz Kota Weimar, Jerman terdapat sebuah monumen berbentuk dua kursi saling berhadapan melukiskan pertemuan batin antara dua tokoh maha pemikir.

Maha pemikiran maha sastrawan dari Iran bernama Hafez berjumpa dengan maha pemikiran maha sastrawan dari Jerman bernama Johann Wolfgang von Goethe yang kini namanya diabadikan sebagai nama lembaga kebudayaan Jerman, Goethe Institute.

Goethe mengagumi karya-karya Hafez yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman oleh Joseph von Hammer.

Kemudian Goethe menulis syair-syair menghormati Islam yang dihimpun ke dalam sebuah buku berjudul West-Oestlicher Divan (Divan Barat-Timur) yang terdiri dari 12 bab.

Tanpa sadar semula saya menghayati mahakarya Gothe melalui karya-karya musikalisasi oleh Franz Schubert, Robert Schumann, Felix Mendelssohn Bartholdy, Hugo Wolf, Richard Strauss, Arnold Schonberg, Othmar Schoeck terhadap puisi- puisi yang tergabung di dalam West-Oestlicher Divan mahakarya Goethe.

Melalui jalur sastra Dipan Barat-Timur Goethe memengaruhi puisi-puisi Islamiah karya Friedrich Rückert, Christian Morgenstern, dan Walter Benjamin.

Pada tahun 1923, sastrawan Persia, Muhammad Iqbal menanggapi West-Oestlicher Divan Goethe dengan syair-syair Payam e Mashriq yang bermakna Pesan dari Timur sebagai salam persahabatan kebudayaan dari Timur ke Barat.

Nama Goethe diabadikan secara khusus oleh Hamid Tafazoli di dalam Encyclopædia Iranica.

Wajar bahwa kecenderungan Gothe berpihak ke Islam tidak disukai oleh para penyandang Islamophobia.

Di Eropa, West-Oestlicher Divan tidak pernah sepopular mahakarya Goethe lain-lainnya karena dianggap mengkhianati supremasi Nasrani di Eropa.

Nasib serupa juga dialami Gotthold Ephraim Lessing tatkala menulis kisah Nathan der Weise memuji Saladin sebagai pemimpin yang adil dan beradab.

Ada kesamaan antara Johann Wolfgang vom Goethe dengan Raja Charles III sebagai dua tokoh peradaban Eropa Barat dan Nasrani, yaitu dalam minat tabayyuniah untuk mempelajarai Islam yang sejak Saladin menaklukkan Jerusalem memang distigmasisasi sebagai jahat oleh sebagian masyarakat Eropa dan Nasrani.

Baik Goethe dan Charles tidak mau begitu saja dipaksa untuk membabibutatuli membenci Islam seperti yang diyakini kaum penderita Islamofobia.

Baik Goethe di masa lalu maupun Charles di masa kini sebagai Nasrani berusaha memahami Islam sebelum menghakimi Islam berdasar kehendak dan selera sekadar bertumpu pada prasangka belaka.

Tabayyun sesuai ajaran Jesus Kristus untuk jangan menghakimi perihal apapun sebelum memahami yang akan dihakimi.

Jika para pemimpin dunia berkenan bersikap tabayyun dalam menghadapi semua hal terkait sikap dan perilaku sesama manusia maka dapat diyakini bahwa miskonimunikasi dapat dihindari demi bersama menghadirkan suasana perdamaian dunia yang lebih baik.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com