Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jaya Suprana
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Kini Jerman Telah Berubah

Kompas.com - 24/08/2022, 05:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SAYA terkejut atas skandal panitia penyelenggara Documenta XV di Kasel, Jerman tega memberangus karya seni para seniman Indonesia dengan alasan para seniman Indonesia mengekspresikan paham antisemitisme sekaligus zionisme atau isme-isme entah apalagi lain-lainnya.

Jika peristiwa penghianatan terhadap kebebasan ekspresi karya seni tersebut terjadi di Indonesia pada masa Orba saya anggap lazim maka lumrah. Namun peristiwa buruk tersebut terjadi di Jerman benar-benar membuat saya terkejut.

Saya sempat belajar dan mengajar di Jerman pada tahun 1970-an abad XX maka tahu benar bahwa penguasa Jerman yang pada masa itu disebut sebagai Jerman Barat sangat toleran termasuk terhadap karya seni sehingga lahirlah para tokoh seniman hebat mulai dari Heinrich Boell, Gunther Grass, Karl Heinz Stockhausen sampai Joseph Bueys sebagai ikon begawan Documenta bebas-merdeka mengekspresikan karsa dan karya masing-masing tanpa ada pemberangusan.

Apalagi sebelum pagebluk Corona telah tampil Angela Merkel sebagai tokoh maha negarawati yang memimpin Jerman Bersatu dengan hati sehingga tersohor sebagai pemimpin bukan hanya Jerman, namun seluruh negara Eropa yang terbaik.

Andai kata Mama Merkel masih Kanselir Jerman, saya yakin tidak akan ada masalah bagi para seniman Indonesia menampilkan karsa dan karya mereka, apalagi di forum Documenta yang justru merupakan manifestasi kebebasan berekspresi.

Ada “sesuatu” terjadi pada Jerman masa kini. Saya merasa adanya gejala perubahan psikologis politik mau pun kultural pada Jerman pascapagebluk Corona.

Ternyata yang merasa demikian itu bukan saya seorang diri. Tidak kurang dari majalah The Economist mewakili masyarakat berbahasa Inggris dunia secara komprehensif mengulas gejala Jerman masa kini telah berubah bahkan sebagai cover story.

Memang sejak awal 2020 saya sudah khawatir bahwa pagebluk Corona akan berdampak pada peta sosioekonomipolitik dunia seperti yang terbukti terjadi pada masa pascapagebluk Flu Spanyol pada awal abad XX yang terbukti berdampak resesi, bahkan depresi ekonomi lalu berdampak kebangkitan militer Jerman yang akhirnya meletuskan Perang Dunia II.

Pada abad XXI, kekhawatiran saya tentang dampak buruk pagebluk Corona malah diperparah oleh Rusia dan Ukrania yang mendadak berperang demi memperluas atau mempertahankan Lebensraum masing-masing yang kebetulan keduanya memiliki hubungan ekonomi dan politik cukup akrab dengan Jerman masa kini.

Jelas bahwa Jerman memiliki kepentingan-kepentingan tersendiri di Rusia mau pun Ukraina, maka wajar apabila terjadi perang antara Rusia dan Ukraina dapat diyakini bahwa Jerman pasti akan kecipratan getah serta percikan apinya.

Di sisi lain masih ada NATO yang de facto menjajah Jerman sehingga berhak melarang Jerman mengembangkan daya militer. Padahal Jerman termasuk produsen senjata paling terkemuka di planet bumi ini maka pastinya NATO juga sedikit-banyak memiliki kepentingan terhadap perang Rusia-Ukrania.

Maka pagebluk Corona plus perang Rusia-Ukrania layak diyakini memiliki dampak pengaruh psikososioekonomipolitis terhadap dunia termasuk Jerman.

Ibarat raksasa yang bangkit, maka seluruh dunia menanti apa yang akan dilakukan oleh bangsa Jerman yang sementara ini telah membuktikan supremasi keunggulan mereka di bidang ekonomi, teknologi dan sepakbola.

Jika Jerman bangkit kembali dalam kedigdayaan militer seperti pada masa pasca-Perang Dunia I menjelang Perang Dunia II maka seluruh dunia perlu merasa cemas!

Sambil merasa khawatir sebenarnya saya justru memiliki harapan bahwa kekuatiran saya sekadar gejala ilusi paranoida subyektif berlebihan alias lebay yang menimpa pribadi diri sendiri belaka.

Insya Allah, kekhawatiran saya tidak akan terwujud menjadi kenyataan yang memusnahkan cita-cita umat manusia untuk hidup bersama di planet bumi nan gemah ripah loh jinawi, tata tenteram kerta raharja.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com