Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mahendra K Datu
Pekerja corporate research

Pekerja corporate research. Aktivitas penelitiannya mencakup Asia Tenggara. Sejak kembali ke tanah air pada 2003 setelah 10 tahun meninggalkan Indonesia, Mahendra mulai menekuni training korporat untuk bidang Sales, Marketing, Communication, Strategic Management, Competititve Inteligent, dan Negotiation, serta Personal Development.

Futurismo: Metaverse, Aplikasinya dan Hybrid Life

Kompas.com - 03/06/2022, 09:58 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Bane: There's nowhere I can't go. There's nowhere I won't
find you.
Neo: It's impossible...!
Bane: Not impossible. Inevitable!”

(The Matrix - Revolutions, the movie)

Percakapan antara Neo, protagonist dalam film The Matrix - Revolutions (2003) dengan Bane, sang antagonist, memberikan gambaran yang cukup jelas tentang semesta digital yang disajikan secara ilmiah (namun waktu itu masih fiksi).

Tak ada yang tak mungkin di semesta digital yang tak selalu merefleksikan secara persis alter ego dari semesta nyatanya.

Kita bisa memilih menjadi orang baik atau orang jahatnya, hero atau anti-hero. Kita bisa merefleksikan pribadi kaya raya dengan rumah seratus kamar, atau kita bisa menjadi seorang remaja yang baru tergila-gila oleh asmara.

Meski dalam konteks menemukan di mana Neo bersembunyi, Bane – dalam film The Matrix - Revolutions itu – mengatakan ‘bukan hal yang tak mungkin, tapi hal yang tak dapat dihindari’.

Bicara tentang Metaverse seperti bicara tentang dunia lain yang (rasa-rasanya) sangat ideal. Tak ada keburukan di sana, hidup seperti terkoneksi 24 jam, dan juga rasa-rasanya, tak ada malam di Metaverse.

Sibuk, heboh, hiruk pikuk, penuh suka cita dan semuanya beraktivitas.

Segalanya tampak baik-baik saja, hingga tibalah listrik padam. Mendadak dunia yang ideal itu hilang, dan seperti seorang yang mendadak terbangun dari mimpi indahnya, yang ia lihat adalah realitas yang tak lagi virtual.

Tiba-tiba diskursus tentang Metaverse meredup sebulan terakhir ini. Mungkin karena orang-orang sudah bosan, atau Metaverse sudah menelan kesadaran mereka.

Inevitability

Mari bahas Metaverse dari runutannya. Saat futurist Kevin Kelly menulis bukunya "The Inevitable" tahun 2016 tentang 12 kekuatan teknologi yang akan membentuk peradaban, istilah metaverse mungkin hanya dikenal beberapa gelintir orang saja di Silicon Valley atau di studio-studio Hollywood.

Dari 12 kekuatan teknologi tersebut, uniknya, nomor 12 atau bab terakhirnya adalah ‘The Begining’.

Wah, ‘the begining’? Mana mungkin bab-bab di buku itu diakhiri dengan ‘sebuah awal mula’?

Ini penjelasannya. Dalam bab penutup buku tersebut, ‘The Begining’ berbicara tentang penciptaan sistem semesta yang menghubungkan seluruh manusia dan mesin ke dalam matriks global.

Tahun lalu “The Begining” itu dimulai kehebohannya oleh Mark Zuckerberg. Tentu Zuckerberg bukan pionir Metaverse.

Para penulis skenario film-film fiksi ilmiah di Hollywood atau para game designer telah lebih dulu menghadirkannya di depan mata kita.

Lalu apakah Metaverse dianggap menjadi jembatan bagi migrasi realitas manusia ke dunia virtual.

Adakah sesuatu di ujung perjalanan Metaverse yang menjadi tujuan akhir itu sendiri? Tentu terlalu naif untuk mengatakan bahwa Metaverse adalah sebuah tujuan akhir. Seyogyanya ia hanyalah wahana. Saya punya penjelasannya soal itu.

Karena sering memberi pelatihan serta pendampingan pengembangan OSCI serta DESIGN THINKING (Stanford Hasso-Plattner), saya wajib melakukan update diri soal isu-isu teknologi terkini yang mulai masuk ke kehidupan keseharian manusia: ya di kantor, di rumah, di ruang publik, dalam berinteraksi serta dalam menjalankan aktivitas sosial-komersial.

Yang paling menarik perhatian saya sejak nyaris sepuluh tahun yang lalu adalah teknologi hologram dan Augmented Reality (AR).

Saat Facebook menginisisasi projek VR Glass Oculus tahun 2014 dengan mengakuisisi perusahaan pengembang Oculus VR Glass senilai 3 miliar dollar AS, jagat teknologi terhenyak.

Dana sebanyak itu ‘hanya’ untuk mengakuisisi perusahaan kacamata VR? Ada agenda apa?

Beberapa tahun berlalu sejak akuisisi itu Oculus VR Project tampak tak menghasilkan apapun, tak ada hingar bingar.

Tim Cook – CEO Apple malah mengatakan, masa depan teknologi bukan di VR, tapi AR (Augmented Reality), dan Apple memang diketahui fokus di area itu.

Oktober tahun lalu Mark Zuckerberg kembali menghebohkan jagat teknologi, kali ini dengan transformasi nama Facebook menjadi META (diklaim sebagai induknya Facebook Group), dan memperkenalkan secara resmi sebuah spesies baru yang bernama ‘Metaverse’.

Teknologi XR (gabungan VR, AR dan sentuhan Artificial Intelligence/ AI) dalam Metaverse benar-benar menarik gerbong perbincangan tak hanya di antara para technologist, tapi juga semua ilmuwan sosial ke dalam pro dan kontra.

Diskursusnya menjadi ‘is Metaverse the hero, or the villain?’

Kembali ke ketertarikan saya soal dua teknologi sekitar sepuluh tahun lalu, Hologram dan AR, saya mencoba menelusuri produk-produk terapannya dalam banyak bidang industri yang berbeda.

Dari nyaris semua industri yang telah dibidik teknologi AR, ada dua industri yang benar-benar memanfaatkannya dengan baik: pendidikan dan retail.

Silakan Anda browse through di kanal YouTube bagaimana toko pakaian, sepatu, perhiasan memakai teknologi AR untuk virtual fitting.

Atau bagaimana jurnal HBR (Harvard Business Review) telah memberikan trigger code dalam banyak halaman jurnalnya dengan visualisasi berbasis AR yang sangat canggih. Semuanya dapat diakses dengan smartphone, bahkan yang low-end sekalipun.

Pandemi dua tahun lebih di seluruh dunia seolah seperti katalis bagi bertumbuhnya aplikasi AR dalam hampir semua lini bisnis.

Metaverse bukan tujuan akhir. Seperti kebanyakan fungsi infrastruktur, ia hanyalah alat antara untuk sesuatu yang lebih besar atau lebih tinggi ‘derajat fungsinya’.

Melalui Metaverse, ruang-ruang kelas serta ruang-ruang kerja digital yang bermekaran semenjak pandemi (2020-2021) menjadi lebih nyata secara emosional dan mental.

Metaverse memberikan ruang tak terbatas bagi siapapun tak hanya untuk kebutuhan berinteraksi, tapi juga belajar secara mandiri, belajar apapun yang mereka suka dan disediakan di semesta Metaverse.

Anda bisa membayangkan sebuah pertemuan bisnis di lapangan golf Metaverse, atau menonton konser Taylor Swift di Madisson Square Garden versi Metaverse, bahkan bersalaman langsung dengan Taylor Swift (tentu antar avatar).

Bagaimana dengan dunia olah raga? Sudah sangat maju adopsinya, bahkan pabrikan-pabrikan peralatan gym sudah menambahkan fungsi VR/AR ke dalam peralatan mereka sehingga kegiatan berolah raga (seperti gowes dan jogging) bisa dilakukan seolah di luar rumah, dan dilakukan secara kolektif.

Tidakkah Anda tertarik untuk jogging pagi di alam Metaverse dengan anak atau saudara Anda yang tinggal di Manhattan atau Sydney, sementara Anda berlari di atas AR-based Treadmill di rumah anda di Yogya atau Surabaya?

Perusahaan Korea DRAX bahkan sudah menjualnya di pasaran sejak beberapa tahun lalu, sebuah produk bernama RunBEAT untuk ‘jogging bersama’ seperti yang saya maksud di atas.

Bahkan bisa untuk lomba marathon maupun sprinter dengan rival-rival dari seluruh dunia, sebuah teknologi yang memadukan aktivitas fisik dengan interaksi senyata-nyatanya di alam Metaverse.

What’s Next?

Meski Metaverse bisa diaplikasikan ke nyaris semua aspek kehidupan serta aktivitas keseharian manusia, prioritas paling masuk akal adalah dengan mengaplikasikannya untuk pendidikan (formal) serta pelatihan-pelatihan (upskilling) di dunia corporate.

Prinsip universal untuk sesuatu yang baru adalah: pusatkan energi serta sumber dana untuk mengedukasi calon pengguna (dalam hal ini masyarakat luas).

Saya sangat mendukung agar aplikasi yang paling sederhana dari Metaverse mulai disajikan kepada lembaga-lembaga pendidikan perintis yang kelak bisa menjadi model pembelajaran berbasis teknologi (termasuk Metaverse) yang lebih tepat guna untuk keperluan pasar dunia serta pertumbuhan ekonomi global.

Bila keseluruhan strategi pendidikan kita tepat dan tepat guna, rasa-rasanya tidak ada yang terlalu dikhawatirkan dengan masa depan dunia ini.

Anak-anak muda kita jauh lebih pe-de menghadapi masa depan ketimbang kita, pun mereka juga lebih lincah beradaptasi dengan perubahan-perubahan dinamis.

Sekali lagi, Metaverse adalah sesuatu yang netral dalam dirinya sendiri. Sebuah wahana. Seperangkat infrastruktur. Apa yang akan kita tanak dan taruh di atasnya, itu yang lebih penting.

Benar kata-kata Bane dalam film Matrix tadi, “It is not impossible. It is INEVITABLE!”

Dum spiro, spero.
(Cicero)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com