Akibatnya, akhir-akhir ini banyak bermunculan anak-anak muda yang Anglicized atau ‘keminggris’ (keinggris-inggrisan/sok Inggris) (Wibisono, 2020).
Lemahnya transmisi antargenerasi ini juga berdampak kepada makin meredupnya identitas lokal anak muda.
Redupnya identitas lokal anak muda kemudian saya sebut dengan istilah sindrom ‘Anak Lupa Diri’.
Sindrom ini merujuk kepada (a) aktivitas berbahasa seseorang yang cenderung menghindari penggunaan bahasa ibu (bahasa daerah) dalam komunikasi sehari-hari, atau (b) kesengajaan seseorang tidak memilih mengajarkan bahasa daerah sebagai bahasa ibu kepada anak/keturunannya.
Kedua kondisi ini (poin a dan b) utamanya karena faktor citra publik/sosial dan prestise/gengsi, dan menganggap bahasa ibu susah dipelajari dan diajarkan, dan/atau kolot atau tidak ‘kekinian’, sehingga dirasa tidak relevan dengan zaman serba canggih seperti sekarang.
Kondisi ini diperkeruh dengan penetrasi masif dan terstruktur budaya-budaya dari luar Indonesia.
Di samping itu, bahasa daerah dinilai memiliki fungsionalitas yang lebih rendah
dibandingkan dengan bahasa nasional dan asing (khususnya Inggris).
Bahasa Indonesia dan Inggris dibutuhkan dalam konteks akademis dan pertemuan atau agenda formal/resmi.
Bahkan, penguasaan bahasa Inggris menjadi syarat wajib untuk bisa meraih beasiswa studi ke luar negeri (Eropa/Amerika), sebuah klimaks mimpi anak-anak muda bangsa dewasa ini.
Meluasnya fenomena ‘Geser Gusur Bahasa Daerah’ dan sindrom menular ‘Anak Lupa Diri’ semakin mempertegas kontestasi antara bahasa daerah, bahasa nasional (Indonesia), dan
bahasa asing (khususnya Inggris) di Indonesia.
Bahwa ketiga jenis bahasa tersebut dapat ‘hidup’ berdampingan dengan rukun tanpa saling ‘membunuh’ ternyata belum benar-benar terbukti.
Gagasan ‘ekologi linguistik global kontemporer’ yang diusung oleh Phillipson & Skutnabb-Kangas (1999), di mana keberadaan semua bahasa dalam suatu negara sangat didukung, masih jauh dari asa untuk diejawantahkan secara bijaksana.
Pemerintah sebenarnya mendukung terciptanya ekologi linguistik global kontemporer, yakni melalui slogan ‘Utamakan Bahasa Indonesia, Lestarikan Bahasa Daerah, dan Kuasai Bahasa Asing’.
Sayangnya, aspek kedua belum digaungkan dengan optimal, terutama di tataran praktis, dibandingkan dengan kedua aspek lainnya.
Satu yang paling mencolok adalah penerapan bahasa pengantar pendidikan yang lebih condong memprioritaskan bahasa Indonesia dan/atau Inggris.