1. Kapasitas tinggi dengan karakter jumlah staf dan anggaran besar, bekerja permanen.
Kondisi ini berlaku pada pasukan siber di Australia, China, Mesir, India, Iran, Irak, Israel, Myanmar, Pakistan, Filipina, Rusia, Arab Saudi, Ukraina, Uni Emirat Arab, Inggris, Amerika Serikat, Venezuela, dan Vietnam.
2. Kapasitas sedang menggunakan pekerja sepenuh waktu sepanjang tahun, aktif mengontrol dan menyebarkan informasi, melakukan sejumlah eksperimen dalam strategi untuk manipulasi media sosial.
Kapasitas pasukan siber di Indonesia masuk kapasitas sedang, bersama sejumlah negara lainnya, yaitu Armenia, Austria, Azerbaijan, Bahrain, Belarusia, Bolivia, Brasil, Kamboja, Kuba, Republik Ceko, Eritrea, Ethiopia, Georgia, Guatemala, Hongaria, Kazakhstan, Kenya, Kuwait, Lebanon, Libya, Malaysia , Malta, Meksiko, Nigeria, Korea Utara, Polandia, Rwanda, Korea Selatan, Sri Lanka, Suriah, Taiwan, Tajikistan, Thailand, Turki, dan Yaman.
3. Kapasitas rendah pasukan sibernya berlaku pada negara Angola, Argentina, Bosnia & Herzegovina, Kolombia, Costa Rika, Kroasia, Ekuador, El Salvador, Jerman, Ghana, Yunani, Honduras, Italia, Kirgistan, Moldova, Belanda, Oman, Qatar, Republik Makedonia Utara, Serbia, Afrika Selatan, Spanyol, Sudan, Swedia, Tunisia, Uzbekistan, dan Zimbabwe.
Pasukan siber mereka aktif secara temporer dan timnya kecil.
Baca artikel sebelumnya: Bahar dan Serangan Pasukan Siber Penguasa
Riset Inside Indonesia menunjukkan para pasukan siber Indonesia dikendalikan oleh sejumlah politisi senior, di lingkungan menteri atau dalam lingkaran pemerintah dan pengusaha kaya.
Yatun, dkk dalam tulisan Ancaman Pasukan Siber (The threat of Cyber Troops), para elemen kekuasaan dan pengusaha atau orang-orang kaya menggunakan pasukan siber untuk mengelola target dan kepentingan tertentu.
Terdapat juga elite ekonomi yang mempekerjakan mereka untuk menarik dukungan publik dalam mendorong kebijakan pemerintah yang menjadi concern kepentingan pengusaha.
Dicontohkan, kasus Omnibus Law UU Cipta Kerja dan pembenahan KPK.
Kajian lain yang dilaporkan Wijayanto & Ward Berenschot dalam tulisan Pengorganisasian dan Pendanaan Propaganda Media Sosial, karakter pasukan siber di Indonesia berbeda dengan negara lain.
Dia memastikan pasukan siber di negeri ini bersifat fleksibel dan tidak terorganisasi secara profesional.
Awalnya mengorganisasiannya mereka mirip tim sukses kampanye, sesudah even itu selesai, mereka mengorganisasikan dalam bentuk tim lain.
Platform yang mereka gunakan terbatas seperti Twitter, Facebook, Instagram.
Laporan Wijayanto mengacu data hasil wawancara terhadap 78 anggota pasukan siber, delapan di antara mereka perempuan.
Mereka dari kalangan muda yang berusia di bawah 45 tahun, 65 persen pendidikan sarjana.
Beberapa metode kerja mereka seperti disebut dalam Computational Propaganda Research Project, 2020, yaitu menyebar informasi dalam bentuk trolling atau pelecehan, metode disribusi informasi secara massal (seorang buzzer mengelola 10-300 akun twitter), dan akun itu anonim alias palsu.
Tetapi mereka memiliki akun resmi yang disebut “akun jenderal” yang digunakan secara terkoordinasi bersama akun-akun lainnya.
Sebagian aktor pasukan itu adalah influenser, sebagian lainnya pasukan biasa yang memiliki keahlian komputasi dan internet, serta menyebarkan informasi.
Riset Inside Indonesia menunjukkan pembagian tugas yang berbeda. Para aktor yang mengelola akun dan mendistribusikan informasi dibedakan dengan pasukan yang memproduksi konten dalam bentuk narasi, meme, dan tagar.