Pada tahun 1970 Menteri PUTL Sutami mengusulkan ide yang sama ke Presiden Soeharto.
Dia meminta agar pemerintah membangun jalan bypass Jakarta-Bogor karena kemacetan begitu terasa seiring bertambahnya jumlah kendaraan.
Tercatat 220.000 kendaraan yang melintasi jalan raya Jakarta pada saat itu. Bahkan, terdapat 9.000 kendaraan melintasi jalan penghubung Jakarta-Bogor per harinya.
Berangkat dari fenomena tersebut, gagasan pembangunan jalan tol lantas mulai dipikirkan, termasuk soal biaya.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Penemu Telepon Alexander Graham Bell Lahir 3 Maret 1847
Rencana pembangunan tol itu bersamaan dengan wacana dibangunnya pabrik semen berkapasitas 1,2 juta ton per tahun di Cibinong, Bogor.
Pembangunan pabrik itu didanai penanam modal dari Amerika Serikat yaitu Kaiser Cement.
Karena lokasi pabrik jauh dari jalan arteri, Kaisar Cement meminta Pemerintah Indonesia menyediakan akses memadai untuk menyalurkan produksi.
Sehingga, Perwakilan Kaiser Cemen Nick P Petroff bersedia membantu Pemerintah Indonesia untuk membujuk Pemerintah AS demi mendapatkan dana pinjaman.
Pinjaman pun diberikan melalui Badan untuk Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) sebesar 28,6 juta dollar AS atau setara Rp 5,5 miliar (kurs tahun 1974 dengan catatn 1 dollar AS=Rp 195) dengan masa pengembalian 30 tahun dan bunga 3 persen.
Pemerintah Indonesia menggelontorkan 10,3 juta dollar AS atau ekuivalen Rp 2,00 miliar (30 persen) dan 22,8 juta dollar atau senilai Rp 4,4 miliar (70 persen) dari AS untuk konstruksi Tol Jagorawi.
Anggaran pemerintah dan pinjaman luar negeri itu diserahkan kepada PT Jasa Marga (Persero) Tbk sebagai penyertaan modal.
Baca juga: Serangan Umum 1 Maret 1949: Soeharto Disebut Asyik Makan Soto Saat Serangan Berlangsung