Sementara itu, psikolog klinis personal Growth Stefany Valentina mengatakan, flexing secara sederhana bisa diartikan sebagai pamer.
Baca juga: Media Sosial: Senjata Ampuh Lawan Pelaku Kejahatan
Dari sisi psikologis, Stefany menyebut orang pamer bisa jadi karena dua alasan.
Pertama, pamer karena memiliki sesuatu yang ingin dibanggakan dan hanya sekadar membagikannya ke orang lain.
"Bisa juga karena alasan dia punya sesuatu, tetapi yang dipamerkan ini bentuk insecurity, karena merasa dirinya kurang. Jadi merasa butuh memamerkan pencapaian itu supaya insecurity tadi tidak terlihat," kata Stefany saat dihubungi Kompas.com, Senin (14/2/2022).
Menurutnya, flexing tidak melulu soal kekayaan dan harta, tetapi juga bisa pencapaian, keberhasilan, atau bahkan relationship.
Ia menuturkan, flexing masih dianggapnormal selama masih dalam batas wajar.
Baca juga: Marak Perang Tagar di Media Sosial, Efektifkah Pengaruhi Persepsi Publik?
Sebab Stefany juga menyebut flexing merupakan salah satu cara untuk menghargai keberhasilan seseorang, tetapi bisa jadi bermasalah apabila dilakukan secara berlebihan.
"Kan enggak semua hal dipamerkan. Ada batasan-batasan tertentu yang memisahkan mana flexing yang wajar dan tidak," jelas dia.
"Misalnya habis selesai kuliah terus bisa lulus, terus memamerkan itu kan boleh aja, sebagai salah satu bentuk apresiasi diri juga. Jadi tak melulu dimaknai negatif," tambahnya.
Stefany menjelaskan, selama barang yang dipamerkan adalah milik pribadi dan hasil pencapaian diri, itu merupakan hal yang wajar.
Akan tetapi, apabila flexing dilakukan untuk menutupi kekurangan dirinya, justru ia tidak akan mengatasi akar masalahnya.
"Jadi kaya cuma menutupi insecurity itu dengan pamer. Lama-lama mungkin orang di sekitar jadi tidak suka dengan dia," ujarnya.
Baca juga: Ramai Tren “Healing”, Apa Itu? Ini Penjelasan Psikolog