KOMPAS.com - Harga tes PCR untuk mendeteksi virus corona di Indonesia jadi perbincangan beberapa hari ini.
Ada yang membandingkannya dengan India, dan diketahui harga tes PCR di Indonesia yang mencapai Rp 900.000 jauh lebih mahal jika dibandingkan di India.
Presiden Joko Widodo pun meminta Kementerian Kesehatan untuk menurunkan harga tes PCR di rentang Rp 450.000 hingga Rp 550.000.
Perhimpunan Dokter Patologi Klinik dan Kedokteran Laboratorium Indonesia (PDS PatKLIn) mendukung rencana pemerintah untuk menurunkan tarif tes PCR.
Hal ini disampaikan oleh Ketua Umum PDS PatKLIn Prof DR. Dr. Aryati MS, Sp. PK (K).
"Kami dari PDS PatKLIn sangat mengapresiasi dan mendukung program pemerintah untuk menurunkan harga PCR, demi tercapainya target tracing yang lebih tinggi serta diimbangi dengan program vaksinasi hingga mencapai 70 persen populasi," kata Aryati kepada Kompas.com, Senin (16/8/2021).
Baca juga: Kapan Harga Tes PCR Turun? Ini Jawaban Kemenkes
Aryati mengatakan, mahalnya tarif PCR bukan karena laboratorium yang membuatnya menjadi mahal, tetapi ada berbagai faktor penyebab.
"Harga tersebut selama ini bukan karena lab yang membuat mahal," kata Aryati.
Faktor lainnya, kata dia, harga alat dan bahan baku tes PCR, seperti reagen ekstrasi dan bahan-bahan lain yang hanya bisa sekali pakai.
Menurut Aryati, perlu ada regulasi tepat yang mengatur pengenaan pajak atau subsidi untuk komponen-komponen tes PCR.
"Pemerintah sebaiknya mengelola dengan baik harga PCR dengan cara mengendalikan harga reagen ekstraksi dan PCR serta bahan habis pakai, dengan cara melakukan mekanisme subsidi atau penghapusan pajak yang benar-benar terukur dan dihitung pemerintah dengan baik," jelas Aryati.
Berdasarkan panduan tatalaksana Nucleic Acid Amplification Test (NAAT) yang dibuat oleh PDS PatKlin, metode deteksi molekuler atau NAAT dibagi menjadi dua, yakni:
1. NAAT berbasis laboratorium
Pemeriksaan dilakukan di laboratorium berstandar biosafety laboratory-2 (BSL-2).
Ini merupakan laboratorium dengan tata ruang dan alur prosedur kerja sesuai dengan standar pemeriksaan NAAT. Minimal menggunakan biosafety cabinet (BSC) kelas II.
Adapun prosedur pencampuran reagen dan ektraksi terpisah dengan prosedur amplifikasi dan deteksi.
2. TCM
Point of care testing (POCT) atau tes cepat molekuler (TCM) merupakan prosedur ekstraksi, amplifikasi dan deteksi yang berlangsung di dalam satu alat.
Pada umumnya, metode real time reverse transcription polymerase chain reaction atau rRT-PCR) dianjurkan untuk menggunakan minimal 2 target gen untuk mendeteksi SARS-CoV-2.
Pemeriksaan metode TCM umumnya bersifat closed system dengan menggunakan 1 atau lebih target gen. Pada metode ini, tahap ekstraksi dinilai sangat penting.
"Jadi awal PCR sangat tergantung dari ekstraksinya. Kalau closed system yang awal ekstraksinya kurang baik juga bisa hasil PCR kurang baik," kata Aryati.
Sementara, pemeriksaan yang bersifat open system, bisa mendeteksi berbagai reaksi. Meski demikian, Aryati mengatakan, hasil tesnya bisa tetap akurat.
"Sebetulnya akurasinya sama baiknya. Namun kalau open system kuncinya ada di SDM yang melakukannya. Kalau closed system sudah divalidasi dari research and development (R&D) principal alat yang rata-rata masih impor," ujar dia.
Dari diskusi dengan sesama spesialis patologi klinik, sumber daya manusia (SDM) dalam penggunaan tes PCR open system perlu dilatih dan diawasi.
Menurut Aryati, banyak SDM relawan yang masih belum siap. Butuh pelatihan antara 2 minggu hingga 1 bulan untuk kesiapan penggunaan metode open system.
Berdasarkan tatalaksana dari PDS PatKLIn, beberapa alat atau kelengkapan yang dibutuhkan untuk tes TCM dan PCR, meliputi: