Model kepemimpinan seperti ini sangat piawai melahirkan strategi psikologi masa mewujudkan eforia pendukung fanatik yang melihat pemimpinnya sebagai "super hero tidak pernah salah“.
Sejarah menunjukkan, model kepemimpinan semacam ini juga merujuk politikus yang piawai “berkelit“ sebagai ciri politik yang didukung oleh strategi komunikasi pendukung fanatik.
Simak, ketika dibandingkan dengan kemajuan pemecahan pandemi negara lain, maka dengan piawai berkelit dengan kata “Itu contoh negara maju“, “jangan dibandingkan itu negara kecil tapi komunis“.
Bahkan, ketika terjadi perbandingan efektivitas vaksin, para pendukung fanatik sontak menjawab dengan beragam jurus kelit. Sebutlah pernyataan, “Jangan didengar. Di balik itu ada perang dagang Amerika dan China.“. Pernyataan-pernyataan seperti ini wujud laku abai terhadap kajian profesional.
Selain jurus berkelit, jurus maklum, serta juru selamat, ada juga jurus politik lempar rakyat sembunyi batu. Alias, menyalahkan rakyat dengan cap “tidak bisa diatur“, “tidak disiplin“.
Tentu saja tidak mungkin muncul upaya mengkritisi penegak hukum yang tidak bekerja dengan baik.
Bahkan ketika diberi contoh negara yang tingkat disiplin warganya rendah namun penegak hukum mampu mendisiplinkan protokol pencegahan Covid-19 maka terdapat beragam jurus kelit. Sebutlah, “situasinya beda dengan Indonesia. Kita berpulau-pulau “.
Model jurus berkelit dan citra simbolik atau pun memanipulasi kultur maklum dan juru selamat ini pada gilirannya justru menjadikan warga kehilangan panduan membaca fakta dan data yang diperlukan bagi pemecahan masalah.
Sejarah hari ini menunjukkan, negara dengan model politik di atas menjadikan rakyat sebagai korban.
Rakyat kehilangan panduan dan memecahkan masalah mereka lewat berbagai panduan yang khaos. Bisa diduga Covid-19 tidak terkendali, meski rakyat menerima dengan kultur maklum.
Sejarah menunjukkan, setiap periode krisis kemanusiaan melahirkan budaya “amuk“ sebagai kemarahan tak terkendali karena krisis besar kemanusiaan.
Bahkan Rafles ketika menjadi Gubernur Jendral Hindia Belanda dan penulis “History of Java“ memberi catatan sendiri terhadap kultur amuk baik perorangan atau massa.
Perlu dicatat, kata “amuk“ hanya dimiliki bahasa melayu alias Ind6onesia. Bahkan sejarah mencatat, berbagai perlawanan bamgsa Indonesia melawan ketidakadilan kolonialisme sering disebut sebagai bagian “kultur amuk“.
Oleh karena itu, krisis besar kemanusiaan seperti sekarang ini menjadi memomentum bersama membaca sejarah dan mengkritisi model-model kepemimpinan yang bertumbuh di negara ini agar kata “rakyat“ tidak hanya sebagai laku atas nama dan dikorbankan namun sungguh-sungguh dimuliakan dan dilayani .
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.