Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sulit Dideteksi, Epidemiolog Ingatkan Gejala Covid-19 Happy Hypoxia

Kompas.com - 29/08/2020, 07:45 WIB
Luthfia Ayu Azanella,
Rizal Setyo Nugroho

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Ada sejumlah gejala seseorang yang terinfeksi virus corona penyebab penyakit Covid-19. Mulai dari demam, batuk, sesak napas hingga kehilangan indra penciuman dan perasa. 

Namun baru-baru ini juga diketahui gejala yang diidentifikasi dari penderita Covid-19, yaitu happy hypoxia syndrome. 

Melansir pemberitaan Kompas.com (12/8/2020), happy hypoxia merupakan kondisi pasien mengalami tingkat saturasi oksigen dalam darah rendah yang bisa menyebabkan ketidaksadaran hingga kematian.

Baca juga: Warga Semarang Diingatkan Adanya Gejala Happy Hypoxia pada Orang Terjangkit Corona

Namun, pada saat itu pasien tidak menunjukkan tanda-tanda kesulitan bernapas, atau tanda lain yang mengisyaratkan terinfeksi virus corona

Seseorang akan terlihat seperti biasa, tidak mengalami gangguan kondisi fisik, bisa juga berkomunikasi. Padahal gejala ini bisa mengakibatkan hilangnya kesadaran, bahkan kematian.

Sebagaimana terjadi pada pasien Covid-19 di Banyumas, Jawa Tengah yang mengalami gejala happy hypoxia dan berakhir meninggal dunia.

Deteksi dini

Melihat gejala yang tidak terlihat itu, epidemiolog Dicky Budiman menyebutnya sebagai gejala yang menyulitkan deteksi dini kasus Covid-19.

"Ini adalah salah satu dari sekian banyak gejala yang karakternya unik untuk Covid-19. Ini juga salah satu yang relatif mempersulit deteksi dini," kata Dicky, Jumat (28/8/2020).

"Karena dari tampilan kadang menipu, pasien terlihat biasa saja tidak ada keluhan, tapi ketika diperiksa lebih detail salah satunya dengan oksimeter, saturasi oksigennya dia menurun," tambah Dicky.

Menurutnya gejala happy hypoxia pada kasus Covid-19 sudah ditemukan para peneliti beberapa bulan yang lalu, jadi bukan sesuatu yang relatif baru.

Hanya saja masyarakat di Indonesia dimungkinkan baru menerima informasinya belum lama ini.

Baca juga: Antisipasi Happy Hypoxia, RS di Banyumas Diminta Tambah Alat Pengukur Saturasi Oksigen Darah

Memperparah kondisi pasien

Masih menurut Dicky, happy hypoxia bisa menyebabkan banyak kasus pasien Covid-19 menjadi semakin parah.

"Dan ini adalah salah satu fenomena yang akhirnya juga menyebabkan banyak kasus yang tadinya dari derajat sedang menjadi lebih parah atau kritis, karena perubahannya bisa sangat cepat," ungkapnya.

Covid-19 banyak disebut sebagai satu penyakit yang memiliki 1.000 wajah atau dengan keluhan yang berbeda-beda, sehingga cukup sulit untuk mendeteksinya.

"Kecuali dengan pemeriksaan fisik yang teliti, yang hati-hati juga, termasuk ditunjang dengan pemeriksaan penunjang seperti PCR ataupun pemeriksaan rontgen dan CT Scan," jelas Dicky.

KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Infografik: Mengenal Happy Hypoxia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

5 Kasus Pembunuhan Mutilasi yang Jadi Sorotan Dunia

5 Kasus Pembunuhan Mutilasi yang Jadi Sorotan Dunia

Tren
Daftar Terbaru Kereta Ekonomi New Generation dan Stainless Steel New Generation, Terbaru KA Lodaya

Daftar Terbaru Kereta Ekonomi New Generation dan Stainless Steel New Generation, Terbaru KA Lodaya

Tren
Daftar Sekolah Kedinasan yang Buka Pendaftaran pada Mei 2024, Lulus Bisa Jadi PNS

Daftar Sekolah Kedinasan yang Buka Pendaftaran pada Mei 2024, Lulus Bisa Jadi PNS

Tren
Sering Dikira Sama, Apa Perbedaan Psikolog dan Psikiater?

Sering Dikira Sama, Apa Perbedaan Psikolog dan Psikiater?

Tren
Benarkah Kucing Lebih Menyukai Manusia yang Tidak Menyukai Mereka?

Benarkah Kucing Lebih Menyukai Manusia yang Tidak Menyukai Mereka?

Tren
Banjir di Sulawesi Selatan, 14 Orang Meninggal dan Ribuan Korban Mengungsi

Banjir di Sulawesi Selatan, 14 Orang Meninggal dan Ribuan Korban Mengungsi

Tren
Buah-buahan yang Aman Dikonsumsi Anjing Peliharaan, Apa Saja?

Buah-buahan yang Aman Dikonsumsi Anjing Peliharaan, Apa Saja?

Tren
BPOM Rilis Daftar Suplemen dan Obat Tradisional Mengandung Bahan Berbahaya, Ini Rinciannya

BPOM Rilis Daftar Suplemen dan Obat Tradisional Mengandung Bahan Berbahaya, Ini Rinciannya

Tren
Arkeolog Temukan Vila Kaisar Pertama Romawi, Terkubur di Bawah Abu Vulkanik Vesuvius

Arkeolog Temukan Vila Kaisar Pertama Romawi, Terkubur di Bawah Abu Vulkanik Vesuvius

Tren
Kapan Seseorang Perlu ke Psikiater? Kenali Tanda-tandanya Berikut Ini

Kapan Seseorang Perlu ke Psikiater? Kenali Tanda-tandanya Berikut Ini

Tren
Suhu Panas Melanda Indonesia, 20 Wilayah Ini Masih Berpotensi Diguyur Hujan Sedang-Lebat

Suhu Panas Melanda Indonesia, 20 Wilayah Ini Masih Berpotensi Diguyur Hujan Sedang-Lebat

Tren
Apa Beda KIP Kuliah dengan Beasiswa pada Umumnya?

Apa Beda KIP Kuliah dengan Beasiswa pada Umumnya?

Tren
Kisah Bocah 6 Tahun Meninggal Usai Dipaksa Ayahnya Berlari di Treadmill karena Terlalu Gemuk

Kisah Bocah 6 Tahun Meninggal Usai Dipaksa Ayahnya Berlari di Treadmill karena Terlalu Gemuk

Tren
ASN Bisa Ikut Pelatihan Prakerja untuk Tingkatkan Kemampuan, Ini Caranya

ASN Bisa Ikut Pelatihan Prakerja untuk Tingkatkan Kemampuan, Ini Caranya

Tren
Arkeolog Temukan Kota Hilang Berusia 8.000 Tahun, Terendam di Dasar Selat Inggris

Arkeolog Temukan Kota Hilang Berusia 8.000 Tahun, Terendam di Dasar Selat Inggris

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com