Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jangan Dipercaya Lagi, Makan Salak Tak Sebabkan Sembelit

Kompas.com - 14/09/2019, 06:00 WIB
Luthfia Ayu Azanella,
Resa Eka Ayu Sartika

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Indonesia sebagai negara tropis memiliki jenis buah-buahan yang begitu beragam, salah satunya adalah buah berkulit gelap bernama salak.

Buah salak sangat mudah ditemui dalam berbagai macam varian yang ada dengan harga yang relatif terjangkau. Selain harganya yang terjangkau, rasa buah salak juga manis dan segar sehingga banyak disukai oleh masyarakat.

Namun, mengonsumsi buah ini dalam jumlah berlebihan diyakini dapat menyebabkan buang air besar menjadi tidak lancar alias sembelit.

Benarkah demikian?

Seorang dokter umum dari RS Pondok Indah, dr. Maria Lioni Kusuma menyebut buah salak tidak menyebabkan sembelit selama dikonsumsi dalam jumlah yang tidak berlebihan.

Baca juga: Halo Prof! Mitos atau Fakta, Buah Salak Bikin Sembelit?

Ia menjelaskan terdapat 3 faktor utama yang mempengaruhi lancar tidaknya sembelit seseorang, yakni usia, pola makan, dan aktivitas fisik.

“Nah, terkait pertanyaan mengenai makan salak dan sembelit, kembali lagi pada tiga faktor utama tadi yang harus dikaji. Apakah banyaknya salak yang dikonsumsi sampai mengurangi jumlah buah, sayur, dan makanan berserat yang lain?” kata Maria.

Hal selanjutnya yang perlu diperhatikan jika memakan buah salak dan setelahnya mengalami sembelit, apakah asupan air yang dikonsumsi masih terbilang kurang?

Jika jawabannya adalah tidak, maka tidak akan ada masalah kesehatan yang ditimbulkan.

Terlebih jika memakan buah salak beserta bagian kulit tipis atau kulit ari buah salak.
Oleh karena itu, Maria menyebut masyarakat tidak perlu khawatir saat mengonsumsi buah salak.

Penjelasan medis tentang sembelit

Ilustrasi. shutterstock Ilustrasi.

Sembelit yang juga disebut sebagai konstipasi adalah berkurangnya kecepatan pergerakan usus yang menyebabkan seseorang sulit melakukan buang air besar (BAB).

Sulit BAB ini bisa karena dua hal, dorongan BAB yang jarang dan tingkat konsistensi feses yang sangat keras, sehingga sulit untuk dikeluarkan.

Gejalanya, seseorang bisa merasa begah atau kembung, jarang BAB, membutuhkan waktu lama untuk mengejan, dan bentuk BAB yang seperti kerikil dan berwarna gelap.

Sementara BAB yang normal adalah feses memiliki bentuk akan tetapi tidak keras, sehingga tidak membutuhkan upaya ekstra untuk mengeluarkannya.

Baca juga: Gara-gara Mutiara Bubble Tea, Gadis di China Alami Sembelit 5 Hari

"Buang Air Besar (BAB) normal itu sendiri frekuensinya bervariasi, bisa dari tiga hari sekali sampai dengan tiga kali sehari,” ujar Maria.

Namun, semakin tua usia seseorang, maka pergerakan ususnya semakin melambat. Untuk menjaga kelancaran BAB dia perlu memperbanyak asupan nutrisi dari sayur berserat tinggi dan pemberian probiotik.

Selain itu, olahraga teratur yang disesuaiikan dengan kondisi tubuh juga sangat diperlukan.

“Semakin sehat pola makan seseorang - mencakup jumlah konsumsi air minimal 2,5 liter sehari dan tinggi serat - pola BAB pun akan semakin teratur dan semakin kecil kemungkinan sembelit. Semakin aktif kegiatan fisik atau olahraga teratur, pergerakan usus dan pola BAB akan semakin baik,” jelas Maria.

Adapun jumlah serat yang disarankan untuk dikonsumsi seseorang per harinya berbeda-beda, perempuan membutuhkan 25 gram serat sementara laki-laki membutuhkan 10 gram lebih banyak.

Sayangnya, pada umumnya masyarakat Indonesia baik laki-laki maupun perempuan masih mengonsumsi serat dalam jumlah yang sangat kurang, yakni hanya 15 gram per harinya.

Sumber: Kompas.com/ Shierine Wangsa Wibawa

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com