Pemberitaan Harian Kompas, 19 September 2004, menyatakan, dari empat orang itu, tiga tersangka di antaranya berinisial UB, IS, dan DN.
Mereka ditahan sebelum bom meledak di Kedubes Australia lantaran diduga telah menyembunyikan Dr Azahari.
Selain itu, salah satu tersangka, Rois alias Iwan Darmawan alias Hendi alias Agam, mengatakan, peledakan bom di depan Gedung Kedubes Australia merupakan ide dari Dr Azahari yang disampaikan pada pertengahan Agustus 2004.
Baca juga: Hari ini dalam Sejarah: Pemakaman Putri Diana yang Menyedot Perhatian Dunia
Sementara, seorang tersangka lain yang berinisial AAH ditangkap setelah peristiwa ledakan bom.
Namun, menurut keterangan polisi saat itu, keempatnya bukan merupakan pelaku utama.
Lebih lanjut, Rois, menurut Harian Kompas, 31 Maret 2005, mengatakan, tugasnya adalah menyiapkan mobil serta rumah kontrakan untuk merakit bom.
Selain itu, dalam dakwaan disebutkan, pada 6 Agustus 2004, Rois bersama dengan Heri Golun, yang telah dikenal beberapa bulan sebelumnya, beserta Jabir, membeli mobil Daihatsu Zebra warna putih tahun 1990 dengan boks aluminium.
Kemudian, pada 11 Agustus 2004, Rois memberi Heri Golun uang Rp 4 juta untuk membeli bahan peledak berupa potasium dan belerang.
Selanjutnya, pada 17 Agustus 2004, atas perintah Noordin, Rois bertanya kepada Heri mengenai kesediaannya untuk melakukan bom bunuh diri.
Saat itu, Heri menyatakan siap.
Menindaklanjuti hal ini, pada 20 Agustus 2004, Heri menyerahkan surat wasiat agar diserahkan kepada istrinya.
Lalu, setelah beberapa kali melakukan survei di sekitar kantor di Kuningan, Rois bersama Noordin M Top berangkat dari rumah kontrakan di Cikande menuju Cikampek dengan menggunakan Suzuki Carry sewaan warna hijau pada 8 September 2004.
Sementara, Azhari dan Heri Golun menuju Gedung Kedubes Australia untuk meledakkan bom pada keesokan harinya.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Jepang Menyerah kepada Sekutu, Perang Dunia II Berakhir
Dalam kasus ini, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan hukuman mati kepada Rois.
Menurut arsip pemberitaan Harian Kompas, 14 September 2005, putusan ini membuat Rois menjadi terpidana keempat, sekaligus sebagai terdakwa yang mendapat hukuman terberat dalam perkara terkait.