Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Benarkah Kenaikan UKT Belakangan karena Campur Tangan Pemerintah?

KOMPAS.com - Gelombang protes mahasiswa imbas kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) di sejumlah perguruan tinggi negeri (PTN) mewarnai dunia pendidikan Indonesia.

Kenaikan nominal UKT untuk golongan tertentu sempat ramai di beberapa kampus, seperti Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Sumatera Utara (USU), serta Universitas Riau (Unri).

Alumnus Kriminologi FISIP UI, Muhammad Ridha Intifadha melalui akun X (Twitter) @RidhaIntifadha menilai, fenomena kenaikan UKT belakangan tak lepas dari campur tangan pemerintah.

Dalam hal ini, melalui dua aturan yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek).

Pertama, Peraturan Mendikbud Ristek Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada PTN di Lingkungan Kemendikbud Ristek.

Kedua, Keputusan Mendikbud Nomor 54/P/2024 tentang Besaran Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi.

"Dua beleid inilah yg barangkali berhilir mjd keriuhan linimasa bbrp hari terakhir. Entah itu biaya kuliah yg makin meroket atau adanya iuran pengembangan institusi (di luar UKT)," tulisnya, Senin (6/5/2024).

Kompas.com telah mengantongi izin dari pengunggah untuk menggunakan unggahannya sebagai bahan pemberitaan.

Bukan aturan, kenaikan UKT karena kampus kurang kreatif

Terpisah, pengamat kebijakan pendidikan sekaligus Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Cecep Darmawan menanggapi, dua aturan Kemendikbud Ristek sebenarnya tidak menyatakan harus ada kenaikan UKT.

Aturan tersebut memuat pengaturan besaran nilai atau biaya operasional pendidikan, yang menurutnya dikembalikan lagi ke masing-masing perguruan tinggi.

Cecep menilai, beberapa perguruan tinggi memang menafsirkan aturan tersebut sebagai penyesuaian UKT mahasiswa. 

"Menurut saya bukan semata-mata karena peraturan ya, karena ada atau tidaknya peraturan, UKT tiap tahunnya harusnya dievaluasi," ujarnya, saat dihubungi Kompas.com, Kamis (9/5/2024).

Evaluasi UKT yang dimaksud pun bukan berarti harus naik, melainkan disesuaikan dengan kebutuhan anggaran perguruan tinggi setiap tahunnya.

Kendati demikian, jika terdapat kenaikan kebutuhan anggaran, pun tak boleh langsung menaikkan nominal UKT yang dibebankan mahasiswa.

"Dari mana (dananya)? Itulah fungsi perguruan tinggi sebagai entrepreneurial university, harus bisa menggali potensi-potensi pendanaan atau pembiayaan dari hasil kinerja perguruan tinggi, misalnya riset, inovasi, hak paten, dan itu menjadi income (pendapatan)," paparnya.

Cecep mengakui bahwa langkah paling mudah untuk mendapatkan dana adalah dengan menarik UKT dari mahasiswanya.

Namun, cara tersebut menunjukkan perguruan tinggi tidak kreatif dan kurang mampu memanfaatkan sumber dayanya.

Perguruan tinggi pun dituntut harus kreatif dan bekerja keras untuk mendapatkan uang sebagai sumber pendanaan.

"Itu yang paling gampang, paling mudah, tidak butuh kreativitas, ya sudah naikkan saja UKT. Seperti pemerintah kalau kekurangan anggaran, sudah naikkan pajak saja. Itu jalan paling mudah tapi kan tidak kreatif dan akhirnya hanya membebani masyarakat," kata dia.

Cecep menjelaskan, penetapan UKT di suatu perguruan tinggi idealnya melibatkan banyak forum, termasuk dosen dan mahasiswa.

Dengan demikian, bukan hanya pimpinan kampus, semua komponen harus ikut memikirkan dan menetapkan sumber pendapatan yang akan dikeruk.

Penyesuaian atau dalam hal ini kenaikan UKT juga seharusnya menjadi pilihan terakhir sumber pendapatan kampus.

"Itu yang tidak bijak, kalaupun ada penyesuaian (UKT) harus dilihat kemampuan orangtua mahasiswa," terang Cecep.

Dia menegaskan, Kemendikbud Ristek khususnya Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) pun seharusnya tak hanya mengeluarkan aturan.

Penting bagi jajaran pemerintah untuk mengawal dan mengawasi bagaimana pergerakan UKT di masingh-masing perguruan tinggi.

Di sisi lain, kampus dan program studi (prodi) yang mengantongi akreditasi unggul seharusnya tidak menjadi nilai jual untuk mahasiswa.

Tingginya nilai jual tersebut tecermin dari nilai rekomendasi standar satuan biaya operasional pendidikan tinggi (SSBOPT) yang semakin besar, serta berdampak pada penetapan biaya kuliah tunggal (BKT) dan nominal UKT yang tinggi pula.

Cecep mengatakan, untuk memperoleh pemeringkatan yang baik, tentu membutuhkan anggaran yang tinggi.

Namun, Guru Besar UPI ini menegaskan, anggaran kampus bukan hanya bersumber dari mahasiswa.

"Sumber dari mahasiswa atau orangtua itu akhir, jangan jadi sumber primer. Sumber primer adalah dari pemerintah karena perguruan tinggi masuk ranah publik, ranah pemerintah yang tidak boleh lepas tangan," kata dia.

Kedua, seperti yang dijelaskan sebelumnya, kampus atau prodi punya sumber dana primer berupa income generating university (IGU).

Artinya, penghasilan universitas yang berasal dari kreativitas dan inovasi, seperti paten dan kerja sama dengan pihak-pihak tertentu.

"Jangan karena unggul jadi kita mahal. Justru unggul itu dijual keluar, misalnya di bidang industri, stakeholder, masyarakat yang membutuhkan, atau dijual ke institusi pemerintah yang memerlukan itu," imbau Cecep.

"ini akan memengaruhi income-income kampus yang disebut unggul itu. Jadi unggul itu dijualnya keluar, bukan hanya ke mahasiswa," sambungnya.

Perlu transparansi UKT

Dia menambahkan, hasil UKT perlu dibuka sebagai bentuk transparansi kepada publik, terutama mahasiswa.

Sebagai contoh, umumnya kenaikan UKT diiringi dengan fasilitas dan layanan yang semakin membaik.

Kalaupun terpaksa dinaikkan karena inflasi, maka seharusnya terbatas sesuai tingkat kemerosotan nilai uang tersebut.

"Jangan sampai UKT naik tapi untuk membiayai operasional para pejabat, misalnya tunjangan pimpinan perguruan tinggi yang begitu jomplang dengan para dosen. Jangan hanya menaikkan UKT tapi hanya dinikmati oleh para elit," tutur Cecep.

https://www.kompas.com/tren/read/2024/05/11/070000665/benarkah-kenaikan-ukt-belakangan-karena-campur-tangan-pemerintah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke