Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menyusuri Ekspedisi Arktik 1845 yang Nahas dan Berujung Kanibalisme

KOMPAS.com - Para penjelajah menelusuri kembali jalur ekspedisi ke Arktik pada abad ke-19 untuk mencari makam kapten legendarisnya, Sir John Franklin.

Ekspedisi Franklin merupakan ekspedisi Inggris yang dipimpin Kapten Sir John Franklin pada 1845.

Dilansir dari Britannica, keberangkatan Sir John Franklin dan awaknya bertujuan menemukan Jalur Barat Laut (The Northwest Passage) melalui Kanada.

Jalur Barat Laut merupakan sebuah rute laut dari sudut pandang Eropa yang menghubungkan Samudra Atlantik utara dengan Samudra Pasifik melalui Samudra Arktik.

Perjalanan tersebut juga ditempuh dengan tujuan mencatat informasi magnetik sebagai bantuan navigasi di masa mendatang.

Namun, misi yang dipimpin Kapten Sir John Franklin berakhir menjadi salah satu bencana terburuk dalam sejarah eksplorasi kutub.

Seluruh 129 awak dan petugas dua kapal yang terlibat, HMS Erebus dan HMS Terror, dinyatakan musnah secara misterius.

Angkatan Laut Inggris telah melancarkan upaya pencarian paling ekstensif dalam sejarahnya, tetapi hanya menemukan sedikit mayat tanpa jejak keberadaan kapal.

Bahkan, butuh waktu hampir 170 tahun sebelum Erebus dan Terror akhirnya ditemukan di perairan Arktik Kanada.

Menelusuri jejak ekspedisi Arktik 1845

Guna memecahkan misteri, seorang penjelajah National Geographic, Mark Synnott, mengatur seluruh perjalanan untuk menemukan jejak kapal.

Dalam misinya, dia mengaku mengatur seluruh perjalanan agar bisa mencoba merasakan perasaan Franklin dan teman-temannya selama ekspedisi lebih dari 170 tahun lalu.

"Berlayar di perairan yang sama, berlabuh di teluk yang sama, menghadapi badai yang sama, terhubung dengan semangat mereka," ujarnya, dikutip dari Live Science, Jumat (25/8/2023).

Diketahui, Franklin berangkat dari Inggris dengan dua kapal dan 129 orang pada 1845. Namun, menurut catatan yang ditemukan pada 1959, HMS Terror dan HMS Erebus terperangkap di dalam es dan menghilang pada September 1846.

Beberapa kapal Inggris mulai berangkat mencari orang-orang yang mungkin selamat selama beberapa dekade setelah bencana tersebut, tetapi tidak membuahkan hasil.

Kendati demikian, secercah harapan muncul melalui pencarian modern yang mengantarkan pada petunjuk tentang apa yang mungkin terjadi pada ekspedisi nahas Franklin.

Pada 2014, tim pencari Kanada menemukan salah satu kapal yang hilang, HMS Terror, di Selat Victoria, Kanada bagian utara.

Dua tahun kemudian, informasi dari nelayan masyarakat adat Inuit yang mendiami kawasan Arktik dan subarktik di Amerika Utara, mengarah pada penemuan HMS Erebus di lepas pantai Pulau King William, Kanada.

Penelitian mengungkapkan, beberapa awak kapal ditemukan tewas di dalam kapal yang terkunci es.

Namun, 105 orang selamat karena perbekalan yang dibawa dan dilaporkan meninggalkan bangkai kapal tersebut pada April 1848.

"Pada akhirnya kita tahu mereka semua meninggal," kata Synnott.

Para ahli menyebut, para kru mungkin mengalami kelaparan dan menderita penyakit kudis serta keracunan timbal karena mengonsumsi makanan kaleng yang buruk.

Ahli lain berpendapat, para pelaut tersebut meninggal karena penyakit pernapasan tuberkulosis dan penyakit kardiovaskular.

Pendapat tersebut berdasarkan catatan yang disimpan dalam "buku sakit" di kapal yang dikirim untuk mencari korban selamat.

Di sisi lain, para pelaut yang meninggalkan kapalnya mungkin terpaksa melakukan kanibalisme untuk bertahan hidup di tengah hamparan salju.

Tulang retak yang ditemukan di Booth Point dan Teluk Erebus menunjukkan, anggota kru kemungkinan besar menyedot sumsum dari tulang rekan mereka yang telah meninggal untuk mengambil nutrisi terakhir.

Pencarian makam Sir John Franklin

Synnott dan tim penjelajah pun mengikuti rute ekspedisi melalui Arktik Kanada, berlayar melewati kabut dan badai hingga mencapai Pulau King William.

Menurut catatan Inuit, makam Franklin mungkin terletak di sana. Menemukan makam kapten dinilai dapat mengungkap dokumen, seperti buku catatan dan surat.

Kumpulan catatan tersebut dapat membantu mengidentifikasi anggota kru asli dan menyatukan insiden tragis yang menimpa Franklin bersama seluruh awaknya.

"Kami akan mampu mengisi kekosongan dan menceritakan kisah-kisah dengan kata-kata mereka sendiri," kata Synnott.

Namun, catatan yang ditemukan di pulau tersebut menyatakan bahwa sang kapten meninggal di HMS Erebus pada 11 Juni 1847.

Di sana, para penjelajah menemukan berbagai artefak, termasuk pasak tenda, yang menunjukkan bahwa mereka semakin dekat.

Sayangnya, lebih dari seminggu menjelajahi lanskap untuk mencari tanda-tanda makam Franklin, para kru terpaksa menghentikan pencarian.

Tom Gross, sejarawan dan penjelajah yang telah menghabiskan 28 tahun untuk mencari tempat peristirahatan sang kapten, meyakini bahwa akan tiba masa di mana makam Franklin ditemukan.

Meski gagal menjalankan ekspedisi, media-media pada era Victoria memandang Franklin sebagai sosok pahlawan.

Lagu-lagu mengenai dirinya pun diciptakan, dengan patung yang didirikan di kampung halamannya di London, Inggris, serta Tasmania, Australia.

"Setelah kami menemukan satu hal, kami akan memiliki semuanya dan itu hanya masalah waktu saja," tandasnya.

https://www.kompas.com/tren/read/2024/05/04/110000765/menyusuri-ekspedisi-arktik-1845-yang-nahas-dan-berujung-kanibalisme

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke