Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Jangan Ada yang "Kelaparan" di Antara Kita

Mereka terpaksa, karena bersuara pun tak mungkin di dengar para petinggi

Mereka bukan dari golongan yang bisa sekehendaknya berlibur pergi

Mereka hanya rakyat biasa, petarung dalam kontestasi

 

Orang-orang itu berupaya bertahan

Di tengah badai pandemi yang belum juga hilang

Orang-orang itu terus berusaha bertahan

Ketika ekonomi dalam keadaan tumbang

Kelaparan, setiap hari mendatangi mereka

Tak ada nasi, itu hal yang biasa

Tanggis tiap hari menetes, tapi disembunyikannya

Mereka adalah para pejuang tangguh semesta

 

Meski berlinang air mata, orang-orang itu tak pernah lupa diri

Walau dilanda kelaparan, mereka sadar sebagai hamba Ilahi

Orang-orang selalu berdoa pada Yang Maha Tinggi

Berharap semoga mereka diberi kelapangan nurani

SAJAK “Meraung Kelaparan” yang ditulis Mohammad Azharudin itu begitu menyentil nurani kemanusian kita.

Ketika tempat-tempat ibadah rajin kita bangun megah, di antara capaian materi yang begitu kita banggakan, di tengah lagak congkak para pejabat membanggakan capaian prestasi pembangunan, dan di antara riuh para akademisi mengulas teori penanggulangan kemisikinan dalam berbagai seminar serta di tengah gegap gempitanya penyaluran bantalan bantuan sosial, ternyata tragedi kelaparan kerap terjadi di lingkungan terdekat kita.

Musibah mengenaskan yang terjadi di Jakarta – sampai saat ini masih sebagai ibu kota negara (IKN) sebelum berpindah ke tempat baru bernama Nusantara di Kalimantan nanti – tragedi menahan lapar yang berujung kematian begitu mengejutkan semua kalangan. Penemuan empat jenazah yang sudah membusuk di Perumahan Citra Garden 1, Kalideres, Jakarta Barat, Kamis (10/11/2022) dan diduga karena kelaparan, terjadi di sebuah perumahan warga kelas menengah.

Padahal jika ditelusuri dari mesin pencari informasi Google, jarak antara lokasi perumahan tempat penemuan jenazah dengan kantor Kecamatan Kalideres, Jakarta Barat hanya “sepelemparan” kerikil, yakni sekitar 1,3 kilometer. Sementara dengan Kantor Suku Dinas Sosial Jakarta Barat, juga relatif dekat.

Dari perumahan Citra Garden dengan Kantor Suku Dinas Jakarta Barat berjarak 11,4 kilometer atau bisa ditempuh dengan kendaraan roda 4 sekitar 29 menit. Jika berjalan kaki mencapai 1 jam 43 menit.

Kejadian kelaparan akut yang menimpa satu keluarga Perumahan Citra Garden, diperkirakan sudah berlangsung beberapa hari sebelum jenazah-jenazah tersebut ditemukan. Korban kelaparan akut itu terdiri dari ayah, istri, anak, dan kerabat.

Kondisi dalam rumah tidak ada rusak atau hilang. Tidak ada sisa bahan makanan bahkan isi kulkas pun telah kosong (Kompas.com, 11/11/2022).

Sebetulnya warga yang menghuni di sekitar rumah korban sudah memiliki kecurigaan, karena sepekan sebelum penemuan ke empat jenazah tersebut sudah mencium aroma busuk. Belum lagi, beberapa hari sebelumnya petugas Perusahaan Listrik Negara (PLN) berusaha mengonfirmasi rencana pemutusan arus listrik ke anak korban.

Jawaban terakhir dari anak korban supaya arus listrik dimatikan saja dan akan minta dipasang kembali di waktu yang akan datang, ternyata menjadi jawaban terakhir anak korban sebelum terjadi peristiwa yang menggegerkan warga perumahan.

Berdasar hasil otopsi Rumah Sakit Polri Soekanto, Kramat Jati, tidak ditemukan tanda kekerasan pada ke empat jasad tersebut. Ke empat jenazah diperkirakan meninggal di waktu yang berbeda sehingga mengalami poses pembusukkan yang tidak sama waktunya.

Pemeriksaan lambung dan kondisi otot korban juga menunjukkan para korban memang tidak mendapat asupan makan selama berhari-hari sebelum meninggal. Untuk memastikan kematian para korban, pihak kepolisian masih mengadakan pendalaman kasus tersebut.

Dari penuturan warga di sekitar rumah korban dan petugas keamanan Perumahan Citra Garden 1, keluarga korban memang dikenal memilih menutup diri. Tetapi kesan dan anggapan “menutup diri” seharusnya bukan menjadi alasan untuk tidak “mengajak”-nya bersosialisasi.

Pengalaman menjadi ketua Rukun Tetangga/RT memang pengalaman tentang pekerjaan yang “sulit”. Betapa tidak, menyatukan beragam karakter dari warga bukanlah perkara mudah. Memisahkan antar keluarga yang “berantam” hanya karena masalah kotoran kucing, ada tetangga yang “dikeroyok” debt collector karena menunggak tagihan hutang, tetangga berkonflik karena anak-anaknya ribut masalah mainan adalah sedikit contoh “ranah” tugas Ketua RT.

Belum lagi rutinitas administrasi kependudukan, penuntasan iuran penghuni untuk membayar pengangkutan sampah dan pembayaran gaji satuan pengamanan hingga beresnya penerangan lampu lingkungan adalah job desk yang harus dikerjakan Ketua RT.

Mengingat “beratnya” tugas Ketua RT, di pemukiman yang pernah saya tinggali dan saya juga pernah menjabat Ketua RT maka diperlakukan periodesasi jabatan Ketua RT agar semua warga merasakan “amanah” sebagai Ketua RT.

Saya masih teringat dengan tinggal di pemukiman padat di Kawasan Perumnas Depok II Timur, Depok, Jawa Barat, ketika seorang Ketua RT mengeluarkan kebijakan yang disepakati seluruh warga untuk setiap minggu mengumpulkan setekong beras dari setiap rumah.

Cara ini ditempuh Ketua RT karena masih adanya keluarga yang tidak mampu secara ekonomi. Beras yang terkumpul sangat membantu kehidupan ekonomi keluarga yang membutuhkan pertolongan.

Di negeri yang penuh dengan “drama” ini ketika penderitaan seseorang dijadikan konten para pesohor untuk menaikkan adsense dan subscribes harusnya kita semua bisa membantu tetangga-tetangga kita yang tertimpa musibah. Kelaparan itu bukan tontonan tetapi harus menjadi tuntunan kita untuk menggiatkan solidaritas dan saling bahu membahu untuk mengatasi persoalan kemanusian yang paling hakiki.

Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dan masih belum stabilnya kondisi perekonomian pasca pandemi membuat setiap keluarga begitu rentan dengan kestabilan kehidupan.

Di kota metropolitan seperti Jakarta saja masih terjadi kasus kelaparan di Kalideres tersebut, bagaimana pula jika kelaparan dialami warga di Pegunungan Tengah, Papua yang sudah terbiasa mengalami itu? Kelaparan di Lanny Jaya, Papua yang “jauh” dari hingar bingar Jakarta juga hal yang biasa terjadi.

Kematian anak-anak dan usia lanjut karena tidak adanya bahan pangan yang bisa disantap adalah kejadian yang lumrah (Cnnindonesia.com, 4 Agustus 2022).

Mengharapkan uluran tangan dari lembaga-lembaga penyalur bantuan pun juga muskil di saat sekarang ini. Justru trauma publik dengan kisah “pencuri” dana sumbangan masyarakat yang memakai kedok lembaga paling darmawan model Aksi Cepat Tanggap atau ACT masih belum pulih.

Justru yang paling efektif, dan yang mungkin dilakukan di setiap kluster perumahan, perkampungan padat atau pemukiman, adalah menerapkan penajaman deteksi dini terjadinya “kelaparan” di setiap rumah warga.

“Starving Alerst” ini menjadi efektif jika semua komponen warga menaruh kepedulian bersama. Jika ada tetangga tidak pernah keluar rumah atau jarang bersosialisasi hendaknya harus disapa dan dijenguk untuk memastikan keadaan dan keberadaannya.

Jika ada lampu penerangan di depan rumah tetangga yang menyala berhari-hari harus dilaporkan kepada pengurus RT dan petugas keamanan agar menjadi deteksi dini untuk mencegah kejadian yang tidak dikehendaki bersama.

Memberikan bingkisan untuk keluarga yang tidak mampu, entah dari kas keuangan RT atau “saweran” para tetangga menjadi cara yang mangkus untuk mengakrabkan hubungan harmonis antar tetangga. Bukankah tetangga adalah saudara terdekat kita?

Dimana Peran Pemerintah?

Tragedi Kalideres itu seharusnya menjadi “tamparan” bagi aparat-aparat pemerintah mulai dari level kelurahan hingga di jenjang yang paling atas.

Dari postur Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta tahun 2022 disepakati anggaran pendapatan daerah sekitar Rp 77,4 triliun sementara belanja daerah sekitar Rp 75,7 triliun. Sisa anggaran tahun 2021 yang tidak terpakai mencapai Rp 4 triliun (Kompas.com, 26/10/2022).

Walau Penjabat Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono, memustukan tidak mengubah APBD warisan Anies Baswedan, harusnya lebih membuka ruang penganggaran untuk pembangunan non-fisik ketimbang hanya fokus pembangunan fisik semata.

Warga Ibu Kota sudah bosan dengan jargon-jargon kalimat yang dipilin indah dan pencitraan semata. Warga butuh Jakarta sebagai ruang yang bisa memberikan kesejahteraan, di mana warganya tidak ada yang menderita kelaparan.

Meski kondisi ketahan pangan di Indonesia termasuk Jakarta masih tergolong baik tetapi secara nasional terjadi penurunan dalam ketahanan pangan nasional.

Guru Besar Ilmu Gizi Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Drajat Martianto, menyebut posisi Indonesia di Global Food Security Index mengalami penurunan pasca pandemi Covid-19 (Kompas.com, 18/09/2022).

Indonesia saat ini menghadapi triple burden of malnutrition yakni tiga masalah sekaligus yakni gizi kurang (stunting dan wasting), obesitas, dan kurang gizi mikro atau kelaparan tersembunyi (the hidden hunger).

Aparat pemerintah di level terendah terutama di kelurahan-kelurahan harus bisa memastikan warga-warga yang layak mendapat bantuan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Data warga tidak mampu yang layak mendapat bantalan bantuan kemanusian harus tepat dan tidak boleh salah.

Setiap kelurahan harus punya “mapping kemiskinan” dan “peta kelaparan” agar bisa mengetahui titik yang tepat dan jelas dalam penyaluran bantuan.

Jika aparat pemerintah terlalu sibuk dengan “gawean” rutin yang mendatangkan tunjangan dan uang saku atau persoalan kelaparan “tersembunyi” di lingkungan terkecil luput dari pemikiran elite, saatnya kita bergandeng tangan membantu tetangga agar jangan ada yang menderita kelaparan. Agar kejadian Kalideres yang memilukan tidak terulang kembali, saatnya kita membuang ”jubah-jubah” kesombongan, ketidakpedulian dan tidak mau tahu dengan sesama.

Bukankah Maulana Jalaluddin Rumi telah mengingatkan kita..... “Jadikanlah kebaikanmu seperti hujan yang tidak peduli pada siapa ia jatuh”. 

https://www.kompas.com/tren/read/2022/11/12/181017665/jangan-ada-yang-kelaparan-di-antara-kita

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke