Tanpa mubazir membelah titian serambut menjadi tujuh dengan berdebat soal definisi dukun sampai mulut habis berbuih, dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya dukun merupakan satu di antara sekian banyak predikat profesi yang dilekatkan pada manusia dalam upaya masing-masing mencari nafkah bagi dirinya maupun keluarganya.
Sebagai profesi pada prinsipnya dukun sama saja dengan para profesi pemberi produk jasa lain-lainya seperti misalnya petani, nelayan, pemulung, pengacara, ojek, ojol, konsultan, motivator, influenzer, comblang, dokter, tabib, sinshe dan lain sebagainya.
Baik-buruknya suatu profesi tergantung pada bagaimana manusia mengejawantahkan profesi tersebut.
Sebagai bagian dari profesi bersifat tradisional tergolong kearifan lokal maka wajar bahwa profesi dukun distigma sebagai negatif bahkan destruktif oleh kaum penjajah yang meski sekarang Indonesia sudah berhasil mengusir kaum penjajah namun secara psikokultural pelecehan terhadap kearifan lokal masih diwariskan maka bertahan sampai masa kini.
Maka para dokter dan apoteker yang memang dididik dengan kaidah kebudayaan kesehatan barat yang dianggap “modern” merasa terhina apabila disetarakan dengan para dukun.
Mujur tak bisa diraih nahas tak bisa ditolak, stigma buruk tersebut diperparah oleh kenyataan yang membuktikan secara tak terbantahkan bahwa memang ada dukun yang melakukan profesinya secara tidak etis, tidak baik, tidak senonoh, tidak jujur bahkan kriminal.
Bahkan ada dukun yang menspesialisasikan diri sebagai dukun santet yang alih-alih menyehatkan malah menyengsarakan bahkan membunuh sesama manusia.
Akibat setitik nila memang rawan merusak susu belangga maka jika ada seorang dukun yang penipu maka langsung terjadi gejala gebyah-uyah bahwa semua dukun pasti penipu.
Pendek kata hukumnya wajib bahwa semua dukun tidak-bisa-tidak pasti harus brengsek.
Sikap pukul rata begitu pada hakikatnya kurang bijak sebab jika ada dokter, apoteker, guru, pengacara, hakim, polisi, politikus, tentara, ulama berperilaku buruk sama sekali bukan berarti bahwa semua dokter, apoteker, guru, pengacara, hakim, polisi, politikus, tentara, ulama berperilaku buruk.
Lebih bijak apabila ada polisi membunuh polisi jangan kita main pukul rata lalu mengeneralisasi bahwa semua polisi adalah pembunuh polisi.
Sama halnya jika ada dukun yang melakukan praktik penipuan maka jangan kita main hakim sendiri demi menghakimi bahwa semua dukun adalah penipu bahkan kemudian memanfaatkan kesempatan untuk menuntut undang-undang melarang profesi dukun yang pada hakikatnya merupakan warisan kearifan leluhur bangsa Indonesia yang dahulu disebut Nusantara.
Lebih bijak dan lebih adil kita memberi kesempatan bagi para dukun untuk bersatu dalam berjuang membuktikan bahwa tidak semua dukun penipu maka dukun siap berperan positif dan konstruktif pada sistem kesehatan nasional.
Jika ada guru, pengacara, hakim, ulama, politikus dll, tidak jujur kemudian kita melarang profesi guru, pengacara, hakim, ulama, politikus dll, maka tidak ada lagi profesi tersisa di persada negeri gemah ripah loh jinawi, tata tenteram kerta raharja tercinta ini. MERDEKA!
https://www.kompas.com/tren/read/2022/08/28/122433765/menerawang-dukun