Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Siswa SMP Bandung Dijambret di Keramaian Tak Ada yang Menolong, Apa yang Terjadi?

KOMPAS.com - Seorang siswa SMP terekam CCTV menjadi korban penjambretan di Jalan Pungkur, Kota Bandung, pada Rabu (23/3/2022) sekitar pukul 16.00 WIB.

Di tengah keramaian, siswa tersebut sempat berteriak meminta tolong. Sayangnya, tidak ada satu pun warga yang berniat menolong.

Korban pulang berjalan kaki bersama dua temannya, tetapi kemudian berpisah di terminal Kebon Kelapa.

Saat korban berjalan sendirian, dua orang pelaku mendekat dan menggeledah korban serta mengambil paksa ponsel dalam saku celana korban.

Pelaku yang diduga membawa senjata tajam itu kemudian melarikan diri dengan santai.

“Orang di sama tidak ada yang bantuin anak saya, sudah si pelakunya juga enggak langsung lari, satu nunggu ada yang lihat. Kata anak saya (warga) pada lihat tapi enggak ada yang bantuin. Driver (ojol) ini juga jelas lihat banget,” katanya miris.

Ada apa dengan fenomena ini, mengapa banyak orang melihat peristiwa penjambretan tersebut tapi tidak ada satupun yang menolong?

Penjelasan psikolog

Psikolog sekaligus akademisi dari Universitas Aisyiyah Yogyakarta Ratna Yunita Setiyani mengatakan, peristiwa yang baru terjadi di Bandung sesungguhnya peristiwa yang menyedihkan dan miris.

Ia memaparkan dari persepsi psikologi, fenomena tak acuh warga sekitar saat melihat kejahatan seperti itu dikenal dengan istilah anti empati atau bystander effect. Fenomena ini bisa disebabkan beberapa hal.

“Pertama, dengan semakin sibuk dan beragamnya kepentingan orang-orang di sekitar yang berpotensi menolong, mereka cenderung memilih acuh tak acuh,” kata Ratna saat dihubungi Kompas.com pada Sabtu (26/3/2022) malam.

Kedua, semakin banyak orang yang melihat peristiwa tersebut, justru semakin memunculkan sikap acuh tak acuh dari orang yang melihat peristiwanya.

Hal ini dikarenakan mereka seolah saling menunggu dan menggantungkan pada orang-orang lain di sekitar siapa yang akan menolong.

“Efeknya ya hanya saling pandang dan sekedar melihat saja tanpa berbuat sesuatu. Bahkan pada beberapa kasus, meski mereka tahu bahwa itu adalah kejadian serius yang darurat membutuhkan pertolongan atau bantuan segera, mereka tetap memilih saling menunggu,” paparnya.

Ketiga, tanggung jawab. Semakin banyak orang yang melihat maka akan semakin kecil tanggung jawab mereka.

“Misal ada satu orang melihat, justru akan semakin besar rasa ingin menolongnya. Namun lebih banyak orang yang melihat, justru akan semakin merasa kecil tanggung jawabnya sehingga memilih tidak membantu atau mengabaikan,” ucap dia.

Keempat, tidak mau berurusan lebih lanjut. Ratna menerangkan, ada anggapan jika mereka menolong, bisa jadi dicurigai sebagai yang melakukan atau si pelaku. Atau juga menjadi repot lantaran harus berurusan dengan pihak berwajib.

“Padahal sudah membantu masih harus terus berurusan dengan sesuatu yang mungkin tidak tahu penuh kejadiannya seperti apa. Sehingga menjadi bias, menolong malah kemudian juga repot,” terangnya kembali.

Kelima, Ratna menjelaskan bahwa terkadang ada rasa canggung saat akan menolong.

“Karena mungkin kita merasa bahwa kita sendiri jika akan menolong justru akan mendapatkan sial atau malah harus berurusan dengan penjahat atau bahkan bisa hingga kehilangan barang dan nyawa sebagai taruhan,” kata dia.

Keenam, kondisi terpaku dengan peristiwa yang baru saja terjadi, hingga akhirnya mereka yang melihatnya stuck atau bingung. Begitu mereka sadar, peristiwa itu sudah berlalu.

“Jadi seperti terhipnotis dengan peristiwanya sampai tidak melakukan apa-apa,” ujar Ratna.

Ratna menjelaskan, fenomena bystander effect ini sudah terjadi sejak lama. Jadi, seolah hanya melihat dan mendengar, tetapi tidak melakukan apa pun dan hanya menonton.

Pertolongan kecil akan sangat membantu

Menurut Ratna, berada di tengah situasi tidak nyaman seperti peristiwa penjambretan tentu menjadi sebuah dilema. Namun, semakin sering mengabaikan hati nurani, akan semakin tumpul pula rasa yang dimiliki.

Agar tidak hanya menjadi “penonton”, Ratna menyarankan untuk mencoba membayangkan anak atau saudara yang berada dalam posisi korban.

Tindakan sekecil apa pun yang dilakukan pastinya akan sangat berarti bagi mereka yang sedang dalam keadaan terpojok.

“Sebab mereka yang sedang terancam ini tidak punya pilihan, dan kita sebagai yang melihat punya pilihan untuk membantu,” tutup Ratna.

https://www.kompas.com/tren/read/2022/03/27/080000865/siswa-smp-bandung-dijambret-di-keramaian-tak-ada-yang-menolong-apa-yang

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke